SEJARAH AGAMA HINDU
Asal
Usul Nama Hindu Dan Sejarah India Kuno
India adalah
negeri yang serba ganda, ganda dalam suku bangsa, ganda dalam budaya, dan ganda
dalam soal kepercayaan. Oleh sebab itu, mempelajari agama Hindu terasa
mengalami kesulitan. Jika kita lihat dari sudut pandang ilmu bangsa-bangsa,
India adalah tanah yang beraneka ragam dan akibatnya ialah orang dapat melihat
suatu kebudayaan yang beraneka ragam. Jika kita ibaratkan, agama Hindu itu
seperti pohon besar yang memiliki cabang yang sangat banyak yang melambangkan
berbagai pemikiran keagamaan.
Asal
Usul Agama Hindu
Agama Hindu adalah agama yang tertua di
dunia. Agama ini telah melewati perjalanan sangat panjang yang bermula dari
abad ke 15 SM hingga sekarang. Di India, agama Hindu sering disebut dengan nama
Sanatana Dharma yang berarti agama yang kekal, atau Waidika Dharma,
yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Tidak banyak yang tahu
soal asal mula agama Hindu. Hal ini karena sejarah agama tersebut telah ada
sebelum masa penulisan sejarah berkembang. Agama Hindu diyakini terbentuk dari
beberapa keyakinan yaitu, keyakinan bangsa Arya dan keyakinan bangsa Dravida.
Agama ini tidak seperti agama-agama lain, dalam agama Hindu tidak dapat diketahui
secara pasti siapa pembawa pertama ajaran-ajarannya. Ini merupakan salah satu
kesulitan dalam mempelajari agama Hindu.
Nama Hindu yang
sekarang lazim dikenal dan telah dipergunakan secara umum di seluruh dunia,
merupakan nama asing karena nama itu diberikan oleh orang yang bukan Hindu.
Nama India dijelaskan dari nama sungai Sindbu, yang mengairi daerah barat
India. Bangsa Persia menyebut sungai itu sungai Hindu. Kemudian nama ini
diambil alih oleh orang Yunani, sehingga nama itulah yang terkenal di dunia
barat.
Sejarah
India Kuno
India kuno dipisahkan dari bagian-bagian
Asia yang lain oleh bukit-bukit yang tinggi dan terjal yaitu, dibagian barat
oleh tanah Pegunungan Hindu Kush, di bagian utara oleh bukit-bukit Pegunungan
Himalaya dan di sebelah timur oleh tanah pegunungan yang memisahkan India dari
Birma.
Pegunungan Windhya yang membujur dari
barat ke timur membagi India menjadi dua bagian, yaitu: India Utara dan India
Selatan.
India Utara
memiliki dua lembah sungai yang luas dan subur, tempat kekayaan yang
melimpah-limpah dan tempat kerajaan-kerajaan besar berkembang, yaitu lembah
sungai Indus atau Sindhu di sebelah barat, dan lembah lembah sungai Gangga di
tengah dan timur. Kedua lembah ini lembah ini dipisahkan oleh Padang
Pasir Thar atau Rajasthan dan dataran tinggi Kuruksetra, yang pada zaman kuno
merupakan medan pertempuran bangsa-bangsa yang ingin atau mempertahankan India.
India selatan terdiri dari tanah
pegunungan Windhya di sebelah utara dan lembah pantai di sebelah timur, selatan
dan barat, sedangkan di tengah-tengah terdapat suatu dataran tinggi Dekhan,
yang sukar sekali dimasuki. Sebagian besar dataran Dekhan adalah kering di
sebalah barat maupun timur dataran ini dibatasi oleh jajaran bukit-bukit,
demikian juga di sebelah timur. Pegunungan di sebelah barat lebih tinggi dari
pada sebelah timur, sehingga banyak sungai yang mengalir ke timur. Hanya ada
dua sungai yang mengalir ke barat. Daerah pantai merupakan daerah yang luas dan
subur dengan banyak Kota dagangnya. Bangsa India sekarang ini adalah bangsa
campuran. Diantara bangsa-bangsa yang memasuki India mempunyai pengaruh besar
sekali atas bangsa India adalah bangsa Dravida dan bangsa Arya.
Bangsa Dravida tersebar di seluruh
India. Tetapi di India utara mereka kemudian di desak oleh bangsa Arya yang
memasuki India kira-kira tahun 1500 sebelum Masehi. Namun hal ini tidak berarti
bahwa mereka dilenyapkan dari India utara. Mereka bercampur dengan bangsa Arya
itu.
Bangsa Arya termasuk bangsa Indo-Jerman.
Dari mana mereka berasal tidak dapat diketahui dengan pasti ada kemungkinan
mereka berasal dari Asia Tengah dan mereka ingin mencari tanah-tanah yang lebih
subur sehingga pada zaman kuno itu mereka menyebar kemana-mana. Ada yang
memasuki Eropa utara ada juga yang memasuki tanah Balkan, lalu menyebrang ke
Asia kecil, menuju Iran dan akhirnya memasuki India melalui celah-celah
Halbar, di sebelah barat laut. Kemungkinan besar mereka memasuki India secara
bergelombang dan
dengan pelan-pelan mereka menduduki seluruh India utara.
Peradaban Sungai
Indus dan Mohenjodaro dan Harappa
Peradaban
Lembah Sungai Indus
Peradaban India kuno dikenal sebagai
peradaban Lembah sungai Indus. Luas geografi wilayah peradaban ini meliputi
1,25 juta km atau seluas Pakistan sekarang. Dua kota yang sangat terkenal ini
adalah Mohenjodaro di wilayah Pakistan Selatan sekarang dan Harappa di daerah
Punjab.
Kemakmuran peradaban Lembah Sungai Indus
sangat bergantung pada intensifikasi pengelolaah lahan pertanian di sepanjang
lembah. Di kawasan ini, petani mengembangkan budaya agraris. Dari hasil itu,
mereka mampu menghasilkan gandum, sayuran, dan kapas. Petani juga berternak
sapi, kerbau, dan babi. Peradaban
sungai Indus berkembang selama kurang lebih seribu tahun. Namun, peradaban
tersebut tampak muncul secara singkat dalam sejarah peradaban umat manusia
karena mengalami kehancuran.
Peradaban Mohenjodaro dan Harappa
Dalam
mempelajari peradaban dunia nama Indus lebih jauh lebih popular. Hal itu
berhubungan dengan adanya penemuan besar pada abad ke 20 oleh jajaran Pemeriksaan
Kebudayaan Kuno di India. Ketika itu mereka sedang melakukan penggalian tanah
di sebuah kampung bernama Mohenjo-Daro dan Harappa yang berada di tepi lembah
sungai Indus. Penggalian
itu menghasilkan barang-barang berharga, antara lain perabot rumah tangga, lempengan-lempengan
tanah yang berhiaskan gambar binatang dan pohon beringin, serta sisi-sisi
bangunan gedung maupun sisi-sisi benteng. Bangunan tersebut paling banyak
ditemukan di kampung Mohenjo-Daro. Oleh karena itu para
ahli memperkirakan bahwa masyarakat yang tinggal di sungai Indus sudah
mempunyai peradaban yang tinggi. Adanya perabot rumah tangga menandakan bahwa
mereka sudah hidup bermasyarakat dan mempunyai kemampuan mengelola dan
menyajikan makanan seperti
layaknya manusia sekarang.
Invansi
Bangsa Arya
Banyak ahli sejarah menduga bahwa
peradaban Mohenjodaro dan Harappa runtuh akibat serbuan
bangsa Arya. Pengetahuan mengenai awal bangsa Arya diperoleh dari kitab
Regweda, yang merupakan kitab tertua dan paling suci bagi umat Hindu. Kitab
tersebut berisi beberapa informasi sejarah mengenai bangsa Arya dan suku-suku
asli bangsa India.
Bangsa Arya diperkirakan masuk ke India
antara 2000 dan 1000 tahun sebelum Masehi. Kaum Arya, yang memisahkan diri dari
kaum sebangsanya
di Iran dan yang memasuki India melalui jurang-jurang di pegunungan Hindu Kush.
Bangsa Arya itu, yang termasuk induk
bangsa Indo-Eropa. Dari tempat mereka terakhir di daerah Asia pusat sebagaian
dari mereka memasuki dan menetap di dataran tinggi Iran, dan sebagian lagi di
Punjab (5 sungai). Di sepanjang sungai Sindhu terdapat suatu peradaban bangsa
Dravida yang sudah tinggi sekali tingkatnya. Peradaban itu berpusat di
kota-kota yang diperkuat dengan benteng-benteng.
Setelah datang di India mereka menentap
di dataran sungai Sindhu yang pada zaman itu masih subur, jadi di daerah itu
mereka telah menjumpai suatu peradaban tua. Di dalam beberapa hal mereka sangat
berbeda dengan bangsa Dravida. Kemudian mereka lebih jauh memasuki India sampai
di tepi sungai Gangga dan sampai di sebelah selatan.
Pada waktu bangsa Arya masuk ke India,
mereka itu masih merupakan bangsa setengah nomad (pengembara), yang baginya
peternakan lebih besar artinya dari pada pertanian. Bagi bangsa Arya kuda dan
lembu adalah binatang-binatang yang sangat dihargai sehingga binatang-binatang
itu dianggap suci. Dibandingkan dengan bangsa Dravida, maka bangsa Arya boleh
dikatakan primitif. Mereka memasuki daerah yang sangat luas yang tertutup oleh
hutan rimba yang tak terhingga, tempat tinggal banyak binatang dan seringkali sangat
berbahaya. Orang-orang yang mereka jumpai di situ adalah orang-orang yang
sangat asing bagi mereka mengenai bahasa, bentuk badan, air muka, kebudayaan
dan mengenai cara hidupnya.
Mereka pun harus membereskan
masalah-masalah sosial yang sukar, yakni kemurnian darah atau asimilasi
(penyesuaian) dengan orang-orang bukan Arya. Walaupun tanah sangat subur dan
kaya akan tumbuh-tumbuhan serta iklim sangat baik, sehingga mereka tidak perlu
mengkhawatirkan penghidupan mereka, namun di dalam tempat-tempat pendudukan
mereka yang kecil-kecil dan merupakan semacam desa-desa yang diperkuat di
tengah-tengah hutan itu, mereka harus memecahkan soal-soal yang gawat. Akhirnya
mereka pun makin bercampur dengan bangsa Dravida dan dengan demikianlah
terwujudlah akhirnya suatu kesatuan. Berkat peleburan kebudayaan Dravida yang
tua itu dengan kebudayaaan Arya terjadilah kemudian kebudayaan India.
Dahulu orang tidak tahu dengan tepat dan
selalu memandang
kebudayaan India seluruhnya sebagai kebudayaan yang dibawa oleh bangsa Arya.
Tetapi terutama setelah penggalian-penggalian tersebut di atas, berubahlah
pandangan orang dan makin banyak diketahui, bahwa bermacam-macam unsur di dalam
kebudayaan India berasal dari kebudayaan Dravida yang tua itu. Bangsa Arya
datang dengan membawa bahasa Sansakerta. Mereka
juga memperkenalkan sistem kasta, yang menempatkan orang-orang ke dalam
bermacam-macam kasta atau warna berdasarkan kedudukan. Jadi dapatlah dikonstatir dengan
jelas, bahwa agama Hindu sebagai agama tumbuh dari dua buah sumber yang
berlainan, tumbuh dari perasaan dan pikiran keagamaan dua bangsa yang belainan,
yang mula-mula dalam banyak hal sangat berlainan, tetapi kemudian lebur jadi
satu.
Interakasi dengan Peradaban Dravida, Arya dan
Peradaban dan agama lembah sungai Indus
Peradaban Bangsa Dravida dan Bangsa Arya
India termasuk salah satu tonggak
peradaban tertua di dunia dengan situsnya di sekitar lembah Sungai Indus. Dari
penemuan fosil-fosil, tampak bahwa di daerah itu terdapat dua tipe penduduk. Pertama,
penduduk asli dengan ciri-ciri: kulit gelap, kecil dan pendek, hidung lebar dan
pesek dengan bibir tebal menonjol. Keturunan dari tipe ini sampai sekarang
masih dapat kita jumpai di antara kasta rendah masyarakat India. Kedua,
mereka yang seketurunan dengan suku Mediteranian. Ini berhubungan erat dengan
orang-orang yang hidup pada masa pradinasti di Mesir, Arab, dan Afrika Utara.
Kulit mereka lebih terang, berbadan tegap, hidung mancung, dan bermata lebar.
Bangsa Dravida Suku Asli India
Bangsa-bangsa
yang peradabannya mirip dengan kebudayaan bangsa Sumeria di daerah Sungai
Eufrat dan Tigris, telah menetap di Lembah Sungai Sindhu (Indus) antara 3000
tahun sampai 2000 tahun Sebelum Masehi. Berbagai cap dari pada gading dan tembikar yang ada
tanda-tanda tulisan dan lukisan-lukisan binatang, menceritakan kepada kita
adanya persesuaian di dalam peradaban tersebut.
Sisa-sisa kebudayaan di Lembah
Sungai Indus, terutama terdapat di dekat kota Harappa di Punjab dan di sebelah
utara Karachi. Orang-orang di kota tersebut telah mempunyai rumah-rumah yang
berdinding tebal dan bertangga. Penduduk India pada zaman itu terkenal sebagai
“bangsa Dravida”. Mereka adalah bangsa-bangsa yang berkulit hitam dan berhidung
pipih, berperawakan kecil dan berambut keriting.
Pada mulanya mereka tinggal di seluruh
negeri, zaman ini sering disebut zaman Chalcolithi. Tetapi lama-kelamaan
hanya tinggal di sebelah selatan dan memerintah negerinya sendiri, karena di
sebelah utara mereka hidup sebagai orang taklukan dan bekerja pada
bangsa-bangsa yang merebut negeri itu.
Peradaban lembah Indus pernah
berlangsung di lembah Sungai Indus sejak 3.000-500 SM. Mungkin dimulai sebagai
penggembala yang pindah ke lembah sungai selama musim dingin. Seiring waktu,
mereka mungkin telah memutuskan untuk bercocok tanam. Mereka mulai berdagang
dengan perahu sepanjang Indus turun ke Laut Arab, ke Teluk Persia, dan naik
Tigris dan Efrat ke Mesopotamia.
Bangsa Arya di India
Dalam kamus New Oxford Dictionary
2009, menyebutkan bahwa Arya berarti; a member of a people speaking an Indo-European
language who invaded northern India in the 2nd millenniumbc, displacing the
Dravidian and other aboriginal peoples
Sekitar 1.500 tahun SM, bangsa Arya
sebagai pejuang dan gembala yang tangguh, berpindah ke selatan menyeberangi
Pegunungan Hindu Kush untuk berdiam di anak benua India. Bencana alam berupa
musim kemarau atau wabah penyakit, atau perang saudara memaksa bangsa Arya
meninggalkan kampung halaman di Rusia selatan. Mereka menyebar ke Anatolia,
Persia, dan India. Mereka hidup dalam rumah-rumah kayu di desa terpencil, tidak
seperti penduduk kota yang tinggal dalam rumah-rumah berbatu bata di lembah
Sungai Indus.
Mungkin sekali bangsa-bangsa Arya
itu, ketika mereka masuk ke India, kurang beradab dibandingkan bangsa Dravida
yang ditaklukkannya. Tetapi, mereka lebih unggul di dalam ilmu peperangan
dibandingkan bangsa Dravida. Pada waktu bangsa Arya masuk ke India, Mereka itu
masih merupakan bangsa setengah nomaden (pengembara), yang baginya peternakan
lebih dibutuhkan daripada pertanian. Bagi bangsa Arya, kuda dan lembu adalah
binatang-binatang yang sangat dihargai sehingga binatang-binatang tersebut
dianggap suci. Dibandingkan dengan bangsa Dravida yang tinggal di kota-kota dan
yang mengusahakan pertanian serta menyelenggarakan perniagaan di sepanjang
pantai, maka bangsa Arya bisa dikatakan lebih primitif. Misalnya saja bangsa
Arya belum mempunyai patung-patung dewa sedangkan bangsa Dravida sudah.
Runtuhnya Peradaban Mohenjodaro
Menurut Michael Wetzel seorang guru besar di
Universities Harvard dalam buku The Home of Aryans tahun 1750 sebelum Masehi, peradaban Harappa mulai
mengalami perubahan baik dalam sifat manfaat maupun lingkungan kotanya.
Barang-barang yang ditemukan sebelumnya sudah lenyap dan rumah-rumah mengecil.
Di sebelah selatan Mohenjo-daro dekat Indus yaitu kota Chanhu-daro merupakan
golongan kota yang mengalami kehancuran peradaban Indus, yang disebut sebagai
kota yang bernama Jhkar dan Jhanger. Lanjutnya, tahun 1700 peradaban Indus yang pernah
berjaya itu berakhir, disebabkan karena banjir akibat gerakan bumi.
Perhiasan ditemukan pada tempat yang tinggi di Mohenjodaro, alat masak
ditemukan berserakan dan kepingan tiang telah terbakar, ditemukan juga beberapa kerangka
orang yang melarikan diri waktu terjadi bencana atau waktu dibantai oleh
penjajah. Begitu pula dengan Harappa telah sangat hancur, kota kerajaan dengan
benteng yang sangat menakjubkan telah hilang dan lenyap secara drastis. Jadi
sebelum bangsa Arya melakukan invasi ke Peradaban India Kuno, perabadan disana
sudah hilang.
Interaksi Peradaban Bangsa Dravida dengan Bangsa Arya
Dimasa tertulisnya kitab-kitab suci
Hindu, telah didiami oleh bangsa Arya. Bangsa itu berwarna putih, tubuhnya
besar dan kuat. Mereka berasal dari Asia Tengah dan kemudian hari menduduki
Iran, Mesopotamia dan Eropa Selatan. Sebagian dari bangsa itu pindah dari Iran
ke India melalui pegunungan Hindu Kush dan menaklukkan bangsa asli di daerah
Punjab atau negeri Lima Sungai. Mereka juga mendesak penduduk asli yaitu bangsa
Dravida ke India bagian selatan. Lambat laun bangsa Arya itu bercampur dengan
bangsa asli dari bagian India Tengah dan Selatan, ialah bangsa Dravida yang
berwarna hitam. Kebudayaan
bangsa Dravida mungkin lebih tua lagi dari pada kebudayaan bangsa Arya. Orang Arya
mengukur kekayaan dari jumlah ternak yang dimiliki. Sekalipun tidak semaju
penduduk asli India, mereka lebih tangguh. Mereka dikenal sebagai prajurit dan
penjudi, senang memakan daging sapi dan minum anggur serta menyukai musik, tari, dan
perlombaan balap kereta perang. Perlahan, mereka pun menetap dan mengadopsi
banyak cara hidup penduduk asli India, yaitu menjadi petani dan pandai besi.
Padi adalah salah satu tanaman yang dibudidayakan. Sebelumnya, bangsa Arya
tidak mengenal padi, walaupun padi telah ditanam di lembah Sungai Indus.
Dalam bidang bahasa, seni dan sastra
bangsa Dravida independen namun banyak terpengaruh oleh Bangsa Arya. Bahasa
Sanskrit di bawa oleh bangsa Arya, rumpun bahasa Indo-Eropa (Persia+Yunani+Latin+Inggris) mwmiliki kesamaan arti
rumpun bahasa Indo-Eropa: pitâ (Sanskrit), patër (Yunani), pater (Latin),
vater (Jerman), vader (Belanda), father (Inggris).
Semuanya berarti: ayah. Yang kemudian bahasa Indo-Eropa sebagai bahasa ibu; setelah
itu Hindi & Bengali. Bahasa Sanskrit eksis dalam tiga bentuknya masa
Magadha ( abad 4 SM) [12]:
Sanskrit Brahmana
Sastra
Untuk politik, hukum, dan seni
Sanskrit lebih pantas dianggap sebagai eskpresi
kesusastraan pada masa Weda karena Sanskrit dialeknya berbeda dengan Sanskrit
yang berlaku di lokalitas lainnya.
Bangsa Arya merasa dirinya lebih
tinggi dari pada bangsa Dravida. Untuk menjaga kemurnian darahnya, mereka
menciptakan sistem kasta (warna) dalam masyarakat. Ada empat kasta (catur
warna) di India, yaitu:
Kasta Brahmana (golongan pendeta, kasta
tertinggi)
Kasta Ksatria (golongan bangsawan dan prajurit),
Kasta Waisya (golongan pedagang dan buruh), dan
Kasta Sudra (golongan petani dan buruh kasar).
Ada golongan yang paling rendah
derajatnya, yaitu golongan budak yang disebut kasta Paria atau Candala.
Interaksi Kepercayaan dan Agama Sungai Indus, Lahirnya
Hindu
Jauh sebelum bangsa Arya masuk ke
India Kuno, bangsa asli India, bangsa Dravida sudah memiliki kepercayaan. Obyek
yang paling umum dipuja-puja orang nampaknya adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh
semacam ibu pertiwi, yang banyak dipuja orang di daerah Asia kecil. Dia
digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga serta pada materi
maupun jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan
dengan bentuk tokoh bertanduk, yang berpadu dengan pohon suci pipala.
Seorang Dewa yang bermuka tiga dan bertanduk dijumpai lukisannya pada
salah sebuah materi batu, dengan sikap duduk dikelilingi oleh binatang. Tokoh ini
dipersamakan dengan tokoh Siwa-Mahadewa pada zaman kemudian. Dugaan ini
kemudian diperkuat oleh penemuan gambar lingga yang merupakan lambang Siwa.
Sebagai dampak dari berkembangnya
budaya Indo-Eropa adalah munculnya Agama Hindu. Menurut sejarahnya, Agama Hindu
mempunyai usia yang cukup tua dan panjang, dan merupakan agama yang pertama
kali dikenal oleh umat manusia. Kami mencoba mendefinisikan kapan dan dimana
Hindu di sebarkan dan berkembang. Agama Hindu pada kelanjutannya telah
melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks baik dalam bidang astronomi, ilmu
pertanian, filsafat, dan ilmu-ilmu yang lain. Sehingga kadang ada kesan rumit
ketika kita berniat memahami ajaran Agama Hindu.
Perkembangan Agama Hindu di India
pada dasarnya terjadi selama empat fase. Zaman Weda, zaman Brahmana, zaman
Upanisad dan zaman Budha. Zaman Weda disinyalir telah berkembang pada masa peradaban
Mohenjodaro dan Harappa. Bukti yang menunjukan fase ini adalah adanya patung
yang menyerupai perwujudan Siwa. Selain itu pada masa ini masyarakat India kuno
juga telah menyembah dewa-dewa. Tetapi kepastian dimulainya fase Weda adalah pada
masa Bangsa Arya berada di Punjab di lembah sungai Indus sekitar 2500 s.d 1500
tahun sebelum Masehi.
Setelah terdesak bangsa Dravida
akhirnya hijrah ke arah Selatan di dataran tinggi Dekkan, dan sebagian ada yang
membaur dan berasimilasi dengan kebudayaan bangsa Arya. Bangsa Arya sendiri
telah menyembah beberapa dewa, Surya (Dewa Matahari), Soma (Dewa Bulan),
Agni (Dewa Api), Indra (Dewa Hujan), dan Yama (Dewa Maut). Untuk memuja para dewa itu,
orang mengadakan upacara sesaji. Kepercayaan bangsa Arya kemudian bercampur
dengan kepercayaan bangsa Dravida. Hasil percampuran itu dikenal sebagai agama
Hindu.
PERIODISASI SEJARAH AGAMA HINDU
Secara garis besar perkembangan agama
Hindu dapat dibedakan menjadi tiga tahap. Tahap pertama sering disebut dengan
zaman Weda, yang dimulai dengan masuknya bangsa Arya hingga munculnya agama
Buddha. Selama zaman ini juga dikenal adanya tiga periode agama yang disebut
‘tiga periode agama besar’. Periode pertama dikenal sebagai Agama Weda Kuno
atau Weda Samhita yang berlangsung dari sekitar abad ke-15 sampai abad
ke-10 sebelum masehi. Periode kedua dikenal sebagai Agama Brahmana di
mana para pendeta sangat berkuasa sehingga banyak sekali perubahan dalam
kehidupan keagamaan, periode ini berlangsung dari sekitar abad ke-10 sampai
abad ke-6 sebelum masehi. Dan terakhir yaitu periode ketiga yang dikenal
sebagai Agama Upanishad. Periode ini berlangsung dari sekitar
abad ke-6 sampai abad ke-5 sebelum masehi dengan ditandai oleh munculnya
pemikiran-pemikiran kefilsafatan ketika bangsa Arya menjadi pusat peradaban
disekitar Sungai Gangga.
Tahap kedua adalah tahapan yang disebut
dengan zaman agama Buddha, yang mempunyai corak sangat lain jika dibanding
dengan agama Weda. Zaman agama Buddha ini
diperkirakan berlangsung antara abad ke-5 sampai abad ke-3 sebelum masehi. Dan
tahap ketiga yaitu zaman setelah agama Buddha yang dikenal dengan zaman agama
Hindu. Tahap ini dimulai sejak abad ke-3 sebelum masehi hingga sekarang.
Perkembangan Agama
Hindu Sebelum Zaman Agama Hindu
a.
Zaman Weda
Zaman ini dimulai dari datangnya bangsa Arya kurang lebih
2500 tahun sebelum masehi ke India, dengan menempati lembah sungai Sindhu,
yang juga dikenal dengan nama punyab (daerah lima aliran sungai). Bangsa Arya
tergolong ras Indo-Eropa, yang terkenal sebagai pengembara
cerdas, tangguh dan trampil.
Zaman Weda
merupakan zaman penulisan wahyu suci Weda yang pertama yaitu Rigweda. Kehidupan
beragama pada zaman ini, didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada Weda
Samitha, yang lebih banyak menekankan pada pembacaan pelafalan ayat-ayat Weda
secara oral,
yaitu dengan menyanyikan dan mendengarkan secara berkelompok. Weda adalah kitab
suci Agama Hindu. Sumber ajaran Agama Hindu adalah kitab suci Weda. Semua
ajarannya bernafaskan Weda. Weda menjiwai ajaran agama Hindu, karena itu agama
Hindu mengakui kewenangan ajaran kitab suci weda. Weda adalah wahyu atau sabda
suci Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi wasa,
yang diyakini oleh umatnya sebagai anandi
ananta yakni tidak berawal dan tidak diketahui kapan diturunkan dan berlaku
sepanjang masa. Namun demikian dikalangan sarjana,
baik Hindu maupun Barat telah berikhtiar untuk menentukan kapan sebenarnya Weda
itu diwahyukan.
Kehidupan keagamaan umat Hindu didasarkan pada naskah
suci yang disebut Weda Samhita, yang mereka yakini sebagai ciptaan Brahma.
Hanya
para resi saja yang mampu menerima isi Weda tersebut.
Isi Weda pada mulanya berbentuk mantra-mantra, kemudian disusun dalam bentuk
puji-pujian. Kitab suci Weda terdiri dari empat Samhita, yaitu:
·
Rigweda.
Rigweda berasal dari kata “Rig” yang berarti memuji. Kitab ini berisi 1000
puji-pujian kepada dewa dalam bentuk Kidung, dan masing-masing Kidung (sukta)
terbagi lagi dalam beberapa Bait. Bagian akhir Rigweda membicarakan perawatan
orang mati, pembakarannya dan penguburannya menurut umat Hindu, Rigweda ini sangat
penting di dalamnya terdapat pengertian dan isyarat akan Agama mamoteistis
dengan falsafah yang monistik, itulah yang maha Esa. Orang-orang suci memberinya
agama yang bermacam. Mereka menyebutnya dengan Agni Yama dan Matariwan
(Rigweda I, 164:44).
·
Samaweda.
Samaweda merupakan suatu bunga-rampai Rigweda, dan sangat menekankan pada
tanda-tanda irama musik. Samaweda terdiri dari 1549 bait. Puji-pujian dinyanyikan diikuti irama
musik oleh
para pendeta yang disebut Udgatr, dan biasanya dilakukan pada upacara
korban diselenggarakan.
·
Yajurweda.
Weda ini tidak hanya memuat mantra-mantra dan persembahan soma saja, akan
tetapi mantra-mantra yang diucapkan dalam beberapa upacara kecil. Yajurweda
memiliki hubungan yang sangat erat dengan Rigweda dan Samaweda, dan
ketiga-tiganya sering disebut dengan Triwedi.
·
Atharwaweda.
Para atharwan adalah golongan pendeta tersendiri. Dalam weda ini dijumpai
kidung-kidung yang harus di ucapkan pada waktu mempersembahkan soma. Isi Atharwaweda berupa
mantra-mantra magis dan doa-doa yang bunyi dan artinya sendiri dianggap sudah
memiliki kekuatan.
Dalam kitab-kitab Weda tidak terdapat
uraian mengenai doktrin-doktrin maupun amalan-amalan ajaran Hindu yang khas.
Tidak ada pemujaan terhadap patung, tidak ada hal-hal yang berhubungan dengan
ritus permandian di sungai-sungai yang dianggap suci, tidak ada uraian tentang
pertapaan di hutan, dan tidak ada praktek yoga maupun pertarakan, juga tidak
ada ajaran avatara atau penjelmaan. Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu
terdiri dari kitab Sruti dan Smrti. Sruti adalah wahyu
sedangkan Smrti adalah kitab yang menguraikan komentar, penjelasan atau
tafsir terhadap wahyu. Materi weda diuraikan pada Sruti dan smrti.
Sruti menurut sifat dan isinya dibedakan atas 4 bagian : Mantra, Brahmana, Aranyaka, Upanisad.
Dewa-dewa
Dewa-dewa yang dipercayai kedudukannya lebih tinggi,
karena bersikap murah pada manusia dan berkenan menerima pujaan dan pujian
manusia. Dewa-dewa
salalu dihadirkan dalam menyelamatkan dari gangguan-gangguan roh jahat.
Mengenai Dewa-dewa dalam Rig Weda disebutkan ada 33 Dewa, dibedakan atas:
Dewa-dewa langit, Dewa-dewa Angkasa, Dewa-dewa Bumi. Dewa-dewa
langit antara lain adalah Dewa Waruna, yang dipandang sebagai pengawas tata
dunia atau Rta. Akibat karya dewa Waruna maka langit teratur, sungai-sungai
mengalir dengan baik dan musim-musim datang pada waktunya. Dewa Waruna
memberikan hadiah
kepada yang mengikuti Rta dan hukuman kepada yang jahat. Selain Waruna juga
Dewa Surya dan Dewa Wisnu termasuk Dewa langit. Dewa Surya diyakini dapat
memperpanjang hidup dan mengusir penyakit. Dewa Surya digambarkan sebagai
menaiki kereta dapat melangkah tiga langkah. Langkahnya yang ke tiga dipandang
tertinggi, sebagai surga tempat kedamain para Dewa. Dewa-dewa
angkasa antara lain Dewa Indra dan dewa
Angin. Dewa Indra sering disebut dengan Dewa perang dan mendapat kehormatan
yang besar sekali, sebab sering membantu manusia dalam perang. Dewa Indra
digambarkan bersenjata panah/wajra. Dewa angin dipandang sebagai Dewa yang
penting.
Yang termasuk
Dewa-dewa bumi adalah Dewa Pertiwi, dan Dewa Agni. Dewa Pertiwi adalah Dewa
bumi yang sering disembah sebagai Dewa Ibu. Dewa Agni juga disebut Dewa Api,
yang sering dianggap sebagai perantara antara manusia dan Dewa Agnilah yang meneruskan
puji-pujian dan korban bakar kepada para Dewa yang dimaksud. Agni pula yang
mendatangkan para Dewa ke tempat-tempat saji dengan bunyi-bunyian dalam Api.
Setiap rumah orang Hindu biasanya mempunyai tiga macam api, yaitu api untuk
upacara harian (agnihotra), seperti yang sampai saat ini masih terdapat
di kalangan keluarga pandit yang ortodoks; api yang untuk upacara tengah
bulanan yang dikaitkan dengan bulan baru atau bulan purnama; dan api untuk
upacara penghormatan dan pemujaan arwah leluhur. Kemudian Dewa Soma, Dewa
minuman keras soma yang diperoleh dari perasan tumbuh-tumbuhan yang disebut
soma pula. Soma adalah minuman para Dewa. Dalam upacara korban, soma dituangkan
sebagai persembahan untuk para Dewa. Hal yang agak aneh ialah bahwa rasa hormat
yang luar biasa bukannya yang ditujukan kepada objek ritus itu sendiri tetapi
hanya kepada kekuatan soma itu saja. Ada beberapa
Dewa lain yang masing-masing kurang jelas urutan kepentingannya. Dewa-dewa
tersebut adalah Surya (Dewa matahari), Wisnu, si kembar
Aswin atau Nasatya (Dewa alam pagi hari) yang kemudian menjadi dewa kesehatan,
Usas (dianggap sebagai Dewa fajar), Marut (Dewa taufan dan angin ribut), Rudra
(Dewa taufan dan petir), parjanya (Dewa pengetahuan)). Dewa-dewa penting
sebagai personifikasi kekuatan alam adalah cipta, Brhamananaspati atau
Brahaspati (Dewa personifikasi perbuatan manusia alam sesaji), dan Widhatar
(Dewa Guntur). Sekalipun dalam agama ini didapati banyak sekali Dewa,
namun mereka tidak dapat dikatakan politeistis karena ternyata Dewa tertinggi
yang memiliki segala kekuasaan para Dewa yang lain. Dengan demikian
hanya ada satu Dewa tertinggi saja yang memiliki segala kekuatan para Dewa,
yang namanya berganti-ganti. Oleh karena itu barangkali lebih tepat kalau
dikatakan sebagai kepercayaan henoteisme (henoteisme= keyakinan kpd satu Tuhan tanpa
mengingkari adanya dewa lain dan makhluk halus). Max Muller
juga menghindari pemakain istilah monoteisme atau politeisme dalam ketuhanan
agam Hindu. Mereka menggunakan istilah “henoteisme” karena ada kecendrungan
melukiskan semua kekuatan pada Tuhan tertentu dan utama yang ada dalam pikiran
para pemujanya. Selain dapat disebut sebagai kepercayaan sebagai henoteistik,
barang kali agama ini dapat pula disebut sebagai katenoteisme (khathenotheisme)
karena dalam agama
ini terdapat kecenderungan untuk memuliakan dan
mengagungkan hanya satu Dewa yang maha tinggi yang diperlukan sebagai obyek
tunggal. Akan tetapi Dewa-dewa lain terhimpun kepadanya.
Roh-roh
(jahat)
Menurut
kepercayaan Weda kuno, selain para Dewa masih ada lagi roh-roh jahat. Roh jahat
ada dua macam: yang tinggi kekuasaannya menjadi musuh para Dewa. Musuh Indra
adalah roh jahat yang menguasai musim kemarau (Wrta). Roh jahat yang kurang
kekuasaannya adalah Raksa dan pisaca (pemakan bangkai). Raksa sering menampakan
diri sebagai manusia dan binatang. Ada lagi roh “hais” seperti Gandarwa,
Yaksa, Bhatu dan Raksasa.
Arwah leluhur
sangat penting kedudukannya dalam kepercayaan agama Weda ini. Apabila orang
meninggal, jiwanya tidak langsung sampai di alam bahagia tetapi masih
mengembara dalam keadan menderita. Jiwa semacam ini disebut dengan preta, dan
sangat membahayakan. Oleh karena itu keturunannya, anak cucu terutama anak
laki-lakinya, perlu mengadakan upacara sesembahan dan menyelenggarakan upacara
korban supaya petra segera sampai kealam bahagia yaitu alam pitara.
Raja para pitara adalah Dewa Yama.
Korban
Umat Weda memuliakan para leluhur mereka
dengan menyelenggarakan upacara korban, yang
selain dilakukan dengan harapan supaya para Dewa melindungi manusia dari
gangguan roh jahat, juga supaya para Dewa memberikan kelancaran, kemurahan dan
ketenangan serta ketentraman. Tujuan utama melakukan upacara
korban dalam agama Weda ini ialah terjaminnya tata tertib kosmos. Pelaksanaan
korban dipimpin oleh pendeta yang membujuk dan merayu
para Dewa untuk mengabulkkan permohonan manusia. Selain itu masih ada korban
Rajasuya, korban untuk penobatan dan kedaulatan raja yang diselenggarahkan
dengan upacara
yang disebut Aswameda. Korban-korban ini disertai dengan pengucapan doa-doa
yang tersebut dalam Rigweda, irama musik yang diselingi bunyi seruling, makan
atau pesta bersama, dan diakhiri dengan pengucapan doa untuk kesejahteraan dan
kemakmuran bersama. Untuk
keperluan sehari-hari korban oleh kepala keluarga dari
segi penyelenggaraan. Korban yang
dilakukan hanya seorang pendeta saja dirasa kurang memuaskan. Oleh Karena
itu biasanya korban diselenggarakan oleh beberapa orang pendeta. Pendeta yang
sangat diutamakan biasanya disebut Hotri
yang tugasnya adalah menyetir bait-bait yang terdapat dalam Rigweda. Pendeta Adwaryu
juga penting karena dalam penyelenggaraan korban ini dilakukan
persiapan-persiapan yang cermat. Ia menunggu api supaya tidak padam dan
menyiapkan beberapa macam makanan yang di perlukan. Para Brahmana mengawasi
penyelenggaraan korban tersebut. Selama upacara koban berlangsung,
kidung-kidung dinyanyikan oleh Udgrati. Upacara korban sehubungan dengan
peristiwa suci disebut Samsakara, dan biasanya dilakukan oleh ketiga
kasta atas. Yang terpenting adalah upacara-upacara
korban yang berkaitan dengan masalah kematian.
Ada pula upacara korban yang
diselenggarakan bersama oleh masyarakat dibantu pejabat lain. Korban diselenggrakann di rumah-rumah atau di altar.
Benda yang dipersembahkan biasanya adalah benda-benda yang disukai oleh manusia
seperti susu; ghee dan kue-kue yang terbuat dari gandum atau beras. Kalu korban
tersebut berupa bintatang, maka daging korban tersebut tidak mereka makan.
Menurut Robert D. Baird dan Alfred Bloom, korban binatang ini merupakan bukti
korban manusia yang pasti diterima oleh para Dewa.
Praktek Keagamaan
Dua macam
upacara simbolok yang penting ialah: pertama korban manusia (purusa) sebagaimana
tercantum dalam kidung kosmogonik dalam Rigweda, yang menyebutkan bahwa yang maha
tinggi telah menjalani korban sarwameda di mana manusia mengakui kemahakuasaan
Tuhan secara universal sehingga kemudian Dewa melimpahkan segala miliknya
kepada seluruh manusia.
Dikalangan rakyat umum terdapat beberapa
upacara korban sebagai upacara siklus kehidupan. Dibeberapa tempat, upacara
tersebut terdiri dari satu seri upacara korban kecil dengan sesaji yang sangat
sederhana seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Upacara dilakukan sendiri oleh
pemilik ruma selaku penanggungjawab
anggota keluarganya. Upacara ini juga
mementingkan api. Yang menjadi pusat pemujaan orang-orang ini adalah korban.
Korban-korban itu dipersembahkan dengan maksud untuk mendapatkan kemurahan
dewa-dewa menghindari diri dari permusuhan roh-roh yang jahat, dan memuja
para leluhur. Pada hakikatnya korban yang dipersembahkan kepada Dewa-dewa itu
bersifat permohonan, yaitu memohon keuntungan-keuntungan bagi
hari depan, sehingga korban ucapan syukur bagi hal-hal
yang sudah dialaminya tidak ada. Ada dua maca
korban, yaitu korban tetap, yang dilakukan tiap kali, pada waktu pagi dan sore,
tiap bulan baru dan bulan purnama, tiap awal musim semi, musim hujan, dan musim
dingin. Disamping itu ada korban
berkala, yang dikorbankan jika ada keperluan, umpamanya korban soma, aswameda,
atau koban kuda, rajasuya, dan sebagainya. Kecuali
korban-korban masih ada upacara-upacara lainnya yang harus dilakukan orang,
yaitu pada waktu istri mengandung, melahirkan anak, anak berumur 4 bulan, yaitu
waktu diajak berpergian untuk
pertama kali, atau juga waktu anak makan yang pertama, atau waktu ia dicukur
untuk yang pertama kali, dan sebagainya. Demikanlah seluruh kehidupan orang
pada zaman iitu meliputi oleh upacara-upacara
keagamaan.
b.
Zaman Brahmana
Brahmana adalah kitab suci yang menguraikan masalah yajna
(sesaji) dan upacara-upacaranya, yang meliputi arti suatu yajna serta
tenaga ghaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya. Tiap-tiap yajna
ditetapkan dengan cermat sekali menurut peraturan-peraturannya. Penyimpangan
sedikit saja dari peraturan-peraturan itu dapat menyebabkan batal dan tidak
sahnya suatu yajna.
Untuk yajna
yang demikian pentingnya dan upacara-upacara yang begitu rumit, diadakanlah
kitab-kitab penuntun, yang disebut Kalpasutra. Kitab ini ada dua
macamnya sesuai dengan adanya dua macam yajna, yaitu:
·
Grhyasutra, yang merupakan
penuntun untuk yajna-yajna kecil dalam lingkungan keluarga.
· Srautasutra, yang merupakan
penuntun untuk yajna-yajna besar dalam lingkungan raja-raja dan
negara.
Pada
zaman ini ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji, diantaranya yaitu:
Kaum
pendeta
Pendeta adalah sesepuh agama atau orang
yang mengerti dalam suatu hal yang berbau agama. Dalam agama Hindu pendeta
adalah orang yang suci sekaligus orang yang paling dekat dengan para
dewa-dewa.
Korban
Pergeseran
penting dalam hal korban ialah semakin tingginya nilai yang diberikan kepada
korban tersebut sehingga berhasil atau tidaknya maksud dan tujuan korban sangat
tergantung pada kekuatan yang ada didalam korban itu sendiri, tidak tergantung
pada kemurahan dewa tetapi pada kekuatan yang ada pada arti dan bunyi
mantra-mantra dan perbuatan dalam korban tersebut. Dalam hal ini
pemilihan mantra yang tepat akan menjamin keberhasilan dalam hal persembahan
sebuah korban.
Dalam kitab Brahmana dan kitab Weda korban
diterangkan secara panjang lebar. Ada dua macam korban, yaitu:
Korban
besar
Korban besar ini
menggunakan empat macam api suci dan dilakukan oleh para pendeta atas
permintaan orang yang memerlukannya. Korban terpenting dalam korban besar ini
disebut dengan somayajna. Salah satu somayajna ialah korban kuda (Aswameda).
Setiap raja berkeinginan untuk melakukan korban ini karena dianggap sebagai
ujian bagi kekuasaan dan kekuatannya. Dengan korban ini ia akan menjadi seorang
Cakrawartin, raja seluruh alam semesta, pencipta perdamaian, ketentraman
dan kesejahteraan. Seperti halnya dalam agama Weda, korban dalam agama Brahmana
ini juga dilakukan oleh empat orang pendeta yang dibantu oleh pembantu
masing-masing. Pendeta adwaryu menyelenggarakan kurban dengan mengucapkan
lafal-lafal yang diambil dari Yajurweda. Korban besar diuraikan dalam Srautra-Sutra.
Korban
kecil
Korban kecil banyak diuraikan dalam Grhya-Sutra.
Korban ini hanya memerlukan kelengkapan yang sederhana, cukup dengan api suci
yang ditaruh di setiap rumah tangga. Api tersebut dibuat oleh kepala keluarga
begitu ia membentuk rumah tangga. Nitya
termasuk korban kecil yang harus dilakukan pada saat-saat tertentu,
seperti permulaan musim baru, bulan muda, bulan purnama, waktu menyemaikan
benih dan waktu permulaan panen, dan kurban untuk para pitara. Upacara korban
tersebut sebenarnya bukan lagi merupakan upacara agama yang sebenarnya. Korban
di sini bukan lagi berpusat pada dewa akan tetapi pada manusia dan hubungan
antara manusia dengan dewa sudah merupakan hubungan yang bersifat magis saja.
Kasta
Agama Brahmana
mengenal adanya kasta-kasta, yaitu kasta Brahmana (pendeta), Ksatria
(pemegang tampuk pemerintah), Waisya (pekerja), dan Sudra (rakyat
biasa). Sebenarnya dalam Rigweda hanya ada dua “varna” saja, yaitu Arya
Varna (kulit kuning) dan Dasyu Varna (kulit hitam). Jumlah kasta itu
sendiri sebenarnya sangat banyak. Menurut Bleeker, sistem ini berpangkal pada
keempat golongan tua dari suku Arya, yaitu dari golongon pendeta Brahmana,
golongan perwira (ksatria), golongan pedagang atau petani (waisya), dan
golongan buruh atau budak (sudra). Di luar keempat kasta ini masih ada lagi
suatu kasta atau golongan yang tidak boleh di dekati atau disentuh, yaitu kasta
Paria (outcast). E.A. Gait mengatakan bahwa pada umumya bangsa
Arya tidak suka akan perkawinan antar suku, tidak suka makan bersama denga suku
yang lebih rendah apalagi dengan yang berkulit hitam. Akan tetapi, akibat
peperangan beberapa suku kekurangan istri sehingga terpaksa kawin dengan
orang–orang pribumi. Jelas bahwa anak-anak mereka ini akan di anggap lebih rendah status sosial
mereka. Demikianlah keturunan kedua telah menimbulkan kelas antara bangsa Arya
asli dan bangsa pribumi, yaitu orang-orang yang berdarah campuran. Perkembangan
seperti ini kemudian menimbulkan adanya prinsip dasar peraturan catur varna
(empat kasta) adalah endogamis. Perpindahan kasta tidak diperbolehkan dan juga
tidak mungkin. Artinya, seorang laki-laki harus hanya kawin dengan wanita dari
kasta yang sama, dan anaknya lahir dalam kasta yang sama dengan orang tuanya.
Asrama
Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam
agama Brahmana disebutkan adanya empat tingkatan hidup yang harus dilalui
setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki keempat tingkatan
tersebut setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara upanayana, yaitu
upacara menjadikan seseorang anak menjadi “dwija” dan resmi sebagai
anggota kasta, serta siap memasuki tingkatan hidup yang pertama, yaitu
kehidupan sebagai Brahmacarin. Anak tadi akan meninggalkan rumah orang tunya dan menetap
sebagai siswa (sisya) di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi
kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainnya. Ia harus
tunduk terhadap gurunya dan istri guru, patuh melaksanakan segala perintahnya
dan harus mencari makan sendiri dengan cara minta-minta. Sebagai imbalannya
dia akan menerima pelajaran dari guru terutama tentang Dharma dalam kitab suci.
Kalau sudah selesai, anak segera pulang dan kawin. Mulailah
ia memasuki tingkatan kedua, Grhasta, yang dimulai dengan perkawinan.
Upacara perkawinan termasuk upacara terpenting yang diselenggarakan di rumah.
Selesai melakukan upacara ini, kedua mempelai melangkah sebanyak tujuh langkah
ke timur-laut sambil diperciki air suci. Sambil memegang tangan istrinya, suami
sambil mengucapkan mantra-mantra kemudian membawa api suci yang harus tetap
dipeliharanya di rumah. Setelah itu mulailah kehidupan sebagai suami-istri. Ia
menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab mendidik anak-anaknya dan
melaksanakan kewajiban terhadap para dewa dengan menjalankan sesaji dan upacara
korban. Ia juga harus melaksanakan kewajibannya yang berhubungan dengan
mayasarakat. Tingkatan ketiga adalah Vanaprastha (kehidupan di hutan,
vana=hutan). Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh apabila seseorang
sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibanya sebagai kepala keluarga
diserahkan kepada anak laki-laki. Adakalanya ia masuk hutan bersama istrinya
supaya memberikan ketenangan dan keheningan berfikir dalam upaya mencapai
kesempurnaan hidup. Segala ikatan duniawi harus dilepaskannya untuk sepenuhnya
mengabdikan diri secara keagamaan. Tingkatan terakhir, atau yang keempat, ialah
Sanyasin, yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan dunia.
Sekalipun ia masih hidup di dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan
diri dari permasalah dunia sehingga kesempatan untuk mencapai moksa.
Dewa-dewa
Bila kita perhatikan perkembangan
pemujaan saat ini dewa-dewa dalam kitab suci Veda, khususnya Indra, Vayu, Aditi
dan lain-lain, nampaknya tidak dipuja lagi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Hal ini tidak lain, karena kedudukan dewa-dewa tersebut di atas, pada zaman
kitab-kitab Purana disusun tidak lagi dipuja karena fungsi dan peranannya
digantikan oleh Tiga Devata Utama, manifestasi-Nya yang kita kenal dengan Tri
Murti. Dewa Agni diidentikan dan digantikan oleh Brahma, Indra dan Vayu
diidentikan dan digantikan oleh Visnu, walaupun dalam kitab suci Veda, Visna
adalah nama lain dari Surya dan Surya sendiri diidentikan dan digantikan fungsi
dan peranannya oleh Siva. Ketiga dewa-dewa ini dengan “parivara devata”-Nya
(keluarga dewa-dewa, sakti atau istrinya, putra-putrinya termasuk pula
pengiringnya) mendapat pujaan yang khusus.
Penggambaran dewa-dewi dalam wujud
tertentu, dimaksudkan untuk lebih mudah membayangkan-Nya, sesuai sifat-sifat
yang didambakan oleh umat kepada-Nya. Selanjutnya disampaikan penggambaran
dewa-dewa dalam Veda, di antaranya
sebagai berikut:
· Dyaus. Dewa
Dyaus adalah dewa langit. Ia merupakan bapak dari para dewa dan merupakan dewa
tertua dari seluruh dewa dalam Veda maupun Susastra Hindu. Di dalam mantra Veda
dilukiskan sebagai dewa Akasa (langit). Dyaus dikenal sebagai dewa yang paling
berkuasa atas surga. Di dalam mantram pujian (stava) Dyaus sering dikaitkan
dengan Prithivi sehingga terbaca Dyavaprthivi, sebagai lambang bapak-ibu yang
bersifat paternal. Nama Dyaus di dalam Rgveda terbaca tidak kurang dari 50
kali. Ia digambarkan sebagai: besar, bijaksana dan energik yang mengajarkan
kebajikan kepada penyembahnya. Di dalam berbagai mantra Rgveda, ia disebut juga
sebagai pencipta semua makhluk. Sebagai bapak ia digambarkan dalam bentuk fisik
yang kekar, berewok. Ia disebut Dyaus Pitar yang berarti bapak Sorga. Dalam
bahasa Latin dikenal Yupiter, sedang dalam bahasa Yunani Kuno disebut Zeuspitar
atau Zeupita. Diduga kata Dyaus berasal dari kata div (memancarkan sinar
atau cahaya) yang artinya sama dengan dewa.
· Prithivi. Dewi
Prithivi
adalah dewa bumi, digambarkan seorang wanita yang sangat ramah dan merupakan
dambaan setiap orang. Dewa ini disebut beberapa kali di dalam kitab Veda
(Rgveda). Parthivi artinya yang mempunyai permukaan lebar, yang dimaksud adalah
bumi. Ia dikenal dengan Ibu yang sangat baik. Dalam Pura ia disebut melahirkan
seorang putra yang bernama Bhoma (Neraka), dalam Ramayana, ia disebut menjelma
sebagai Sita. Nama lainya adalah: Vashundari, Ksitidharani dan lain-lain.
· Aditi
dan Aditiya. Aditi
selalu disebut sebagai sorang dewi, Ibu para dewa. Ia disebut sebagai dewi yang
memberi kebahagiaan. Aditi merupakan personifikasi dari Ibu alam semesta,
Hiranyagarbhah dalam Rgveda. Ia disebut maha pengampun, melenyapkan dosa
manusia. Dalam Regveda dinyatakan Aditi lahir dari Daksa, tetapi versi yang
lain menyatakan bahwa Daksa adalah putra dewi Aditi. Versi yang lainnya
menyatakan lagi bahwa Aditi bersaudara dengan Daksa, ibu dari Vivasit. Aditiya
berarti putra Aditi, pada umumnya diartikan sebagai dewa-dewa yang merupakan
satu kelompok. Ia dipersonifikasikan sebagai dewa yang mempunyai kekuasaan yang
paling tinggi sebagai perwujudan dari hukum yang mengatur peredaran alam
semesta. Ia mengatur tata-surya dan mengatur hukum dunia. Ia bersemayam di
langit, di alam yang tertinggi, menguasai seluruh hidup dan materi sebagai
mantra (elemen).
· Agni
(dewa api). Agni
sering disebut dalam Veda, di samping Indra dan Surya. Di dalam mantram
pertama, Sukta pertama dalam Mandala pertama kitab suci Rgveda, Agni disebut
Purohita para devata dan penganugrahkan kemakmuran dan kebahagiaan. Ia disebut
sebagai saksi yang tetap eksis sampai kini dalam setiap pemujaan umat Hindu.
Fungsi Agni sebagai pandita, sebagai duta, sebagai pemberi berkah, sebagai
akhil Veda, penjaga rumah sebagai saksi dan lain sebagainya menyebabkan Agni
tetap dimulyakan.
·
Surya. Surya
adalah dewa matahari, ia dipuja sebagai
wajah Agni di angkasa (Rgveda x. 7. 3), matanya Mitra dan Varuna, sebagai
dewanya mata atau maha melihat. Dewa Surya seperti telah disebutkan di depan
adalah putra Aditi dengan Dyaus, Dewi Usas (fajar) adalah saudaranya perempuan.
Savtr sering dihubungkan dengan matahari pagi dan Surya dihubungkan dengan
matahari pada siang hari sampai terbenam. Pengercaan dewa Surya berwarna merah
tembaga, merah dan coklat. Ia sangat kasih, pemurah, melenyapkan ketakutan,
dikelilingi oleh kekuatan hidup, para Rudra, menjadi tempat perlindungan
diseluruh penjuru (Nilarudra Upanisad I.9). Dan masih banyak lagi dewa-dewi
dalam Veda di Antaranya: Varuna, Asvin, Usas, Indra, Vayu, Soma,
Visvakarma, Yama, Rudra, Sarasvati, Brahma, Visnu, Siva, Parvati, Durga,
Ganesa, Sri Laksmi. Dengan uraian-uraian tersebut diatas, maka jelaslah bahwa
corak ke Tuhanan Hinduisme adalah polytheisme yang infinitive (tidak
terbatas) di dalam mana dewa-dewa digambarkan secara fantastis dalam bentuk
manusia biasa atau pun luar biasa, yang dipatungkan.
Sutra-sutra
Sutra yang artinya petunjuk. Kitab Sutra
sebagai tafsir dari kitab Brahmana yang terdiri dari 2 macam kitab sebagai
berikut :
o Srautra Sutra: berisi petunjuk-petunjuk upacara-upacara/
kurban-kurban yang wajib dikerjakan oleh raja-raja yang dibagi menjadi 3 macam
:
· Raja
Surya yaitu upacara dalam pelantikan raja naik tahta.
· Aswameda
ialah kurban kuda yang harus dilakukan sekali setahun, sebagai tanda kebesaran
raja (sabagai maha raja).
· Purushameda
yaitu kurban manusia yang diberikan oleh raja (yang kemudian dihapuskan).
o Gerha-Sutra
: ialah tata cara/kurban untuk setiap kepala keluarga yang terdiri dari:
·
Nitya yaitu kurban wajib diakukan
setiap hari oleh kepala keluarga terhadap
roh-roh nenek moyang (pitara).
· Naimittika
ialah kurban yang hanya dilakukan sekali seumur hidup. Kurban yang demikian ini
ada hubungannya dengan periode hidup manusia (samskara) misalnya pada saat
kelahiran, pemberian nama, makan nasi pertama, memotong rambut pertama dan
sebagainya.
· Upanayana
ialah upacara memasuki kasta dengan pemberian Upavita (tali kasta) pada umur
8-12 tahun, setelah itu datanglah upacara perkawinan dan sebagai penutup
upacara ialah upacara kematian yang berupa pembakaran mayat.
c.
Zaman Upanishad
Istilah Upanishad sendiri berasal dari
kata upa, ni dan shad= upani: dekat, di
dekatnya dan shad= duduk. Jadi Upanishad berarti duduk dekat, yaitu duduk di
dekat seorang guru untuk menerima ajaran dan pengetahuan yang lebih tinggi.
Istilah ini selanjutnya menjadi nama agama. Kitab Upanishad berbentuk dialog
antara seorang guru dan muridnya, atau antara seorang Brahmana dengan Brahmana
lainnya. Kitab Upanishad adalah salah satu bagian saja dari kitab-kitab
Aranyaka, yang isinya menekankan pada ajaran rahasia yang bersifat mistik atau
magis.
Kegiatan keagamaan di jaman Upanisad
lebih ditekankan kepada ajaran filsafat tentang Brahman dan segala ciptaan-Nya.
Pandangan yang menonjol di dalam kitab-kitab Upanisad itu adalah ajaran yang
monistis dan absolut, artinya ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang
bermacam-macam ini dialirkan dari satu asas, satu Realitas yang tertinggi. Lima pokok ajaran pada zaman
Upanishad:
Brahman
Ada perbedaan yang sangat mendasar
antara pengertian Brahman dalam Upanishad dengan pengertian kata tersebut dalam
agama Brahmana. Mula-mula Brahman berarti do’a dan kemudian kekuatan goib yang
terkandung dalam do’a. Brahman
adalah sumber alam semesta. Brahman adalah pencipta, yang menjadikan alam
semesta ini. Brahman yang transcendent (Nirguna Brahman) yang berada di luar
alam semesta dan jauh di atas alam semesta itu, adalah juga Brahman yang
immanent (Saguna Brahman) yang berada di alam semesta dan di dalam diri manusia
yang disebut Atman.
Atman
Atman adalah jiwa individu. Dan Brahman
adalah jiwa yang universal. Atman bukan jasmani, bukan indrawi, bukan
kehidupan, bukan pikiran. Atman adalah jiwa, hakekat terdalam dari jiwa
individu itu sendiri. Karena itu Upanisad mengajarkan: Tat twam asi yang
berarti: Itu (Brahman) adalah kamu (atman). Oleh karena atman setiap orang
adalah sama-sama merupakan percikan-percikan kecil dari Brahman, maka tat twam
asi dapat diartikan: saya adalah kamu.
Karma
Upanisad mengajarkan bahwa segala
sesuatu tunduk dan takluk terhadap karma, baik manusia, binatang maupun
tumbuh-tumbuhan. Karma meliputi kehidupan dahulu, sekarang dan yang akan
datang. Karma berarti kehidupan atau perbuatan berikutnya sebagai akibat dari perbuatan sebelumnya. Hubungan
antara ajaran karma dengan ajaran tentang penjelmaan atau perpindahan jiwa
merupakan hal yang penting dalam ajaran Upanisad. Vamedawa telah mengembangkan
ajaran ini. Manusia harus menanggung akibat perbuatan atau karmanya. Setelah ia
mati pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing dia.
Reinkarnasi
Reinkarnasi adalah kelahiran kembali.
Reinkarnasi adalah perputaran kalahiran kembali. Hanya manusia yang telah mencapai atman yang mulia dan yang tahu akan maya
saja yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai moksa.
Moksa
Moksa adalah pencerahan dan keterlepasan
dari keterbatasan. Moksa yaitu kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah
satu. Ia akan mencapai kesatuan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukta.
Perkembangan Agama Hindu Setelah Zaman Agama Buddha
Pada abad kelima sebelum masehi, agama
Buddha muncul dan berkembang dengan pesat. Dan pada abad ketiga sebelum masehi,
agama Buddha berhasil menjadi agama negeri India dan bahkan menjadi agama dunia
karena pengaruhnya saat itu mencapai hingga jauh di luar India. Hal ini membuat
agama Hindu terdesak, namun tidak sampai membuatnya lenyap. Secara diam-diam
dan perlahan agama Hindu mengembangkan diri dan terus berkembang dengan cara
menyesuaikan diri pada sesuatu yang dijumpainya.
Bentuk terakhir agama hindu setelah
zaman agama Buddha mewujudkan suatu campuran yang terdiri dari bermacam-macam
unsur keagamaan. Bentuk ini terutama dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinan
bangsa Dravida.
Sumber
Keagamaan
Sumber keagamaan zaman ini terdapat
dalam kitab-kitab Purana, Wiracarita, dan Bhagawadgita.
Kitab
Purana
Kitab-kitab
Purana (cerita kuno) berisi ikhtisar dongeng-dongeng dan petunjuk-petunjuk
keagamaan. Isi kitab ini mengandung maksud menyiarkan pengetahuan keagamaan dan
membangkitkan rasa pemujaan yang mendalam di kalangan rakyat, dengan perantara
mite-mite, cerita-cerita, dongeng-dongeng, dan pencatatan sejarah kebangsaan
yang besar. Ada lima hal yang umumnya dibicarakan dalam kitab ini, yaitu:
Sarga atau penciptaan
alam semesta, Pratisarga atau peleburan alam semesta dan penciptaannya
kembali, Zaman-zaman pemerintahan Manu (Manwantara), Wamsa atau silsilah
kuno, Sejarah keturunan raja-raja kuno (Wamsanucharita). Selain
mengajarkan tentang proses penciptaan alam semesta, peleburan, dan
penciptaannya kembali, kitab Purana juga mengajarkan tiga dewa terpenting dalam
agama hindu, yakni:
· Brahma, dewa
ini digambarkan memiliki empat kepala dan dipandang sebagai pencipta dunia.
· Wisnu, dewa
ini digambarkan memiliki empat tangan berwarna hitam yang masing-masing
memegang kulit kerang, cakra, gada, dan bunga teratai sekaligus mengendarai
seekor burung garuda. Dewa Wisnu dipandang sebagai pemelihara alam semesta,
sehingga sering meninggalkan surganya untuk membinasakan kejahatan dan
meneguhkan kebajikan dengan cara ‘menitis’. Dewa Wisnu disinyalir pernah
menitis sebagai Rama yang membinasakan Rawana dan sebagai Kresna yang
membinasakan Kaurowa.
· Siwa, dewa
ini digambarkan sebagai mata-mata yang selalu hadir di tempat-tempat yang
mengerikan, misalnya di medan pertempuran dan tempat pembakaran mayat.Ia
mengenakan kalung dari tengkorak dan senantiasa dikelilingi roh-roh jahat.
Selain dipandang sebagai perusak alam semesta, namun dewa ini digambarkan
sebagai pertama yang ulung, dan disembah sebagai tuhan tari-tarian (Nataraja),
serta disembah sebagai Guru.
Ketiga dewa
tersebut disembah sebagai Trimurti yang baru dikenal umum pada sekitar abad
ke-5.
Kitab
Wiracarita
Kepustakaan yang
terkandung dalam kitab ini hanya ada dua, yakni Ramayana dan Mahabharata
yang merupakan dua buah syair kepahlawanan. Keduanya berisi cerita tentang
perbuatan-perbuatan mulia yang dilakukan oleh pahlawan-pahlawan kebangsaan yang
besar. Cerita ini bermaksud menggambarkan cara menerapkan hukum-hukum Smrti pada
keadaan yang konkret di dalam kehidupan nyata.
Ramayana, syair
ini ditulis oleh Walmiki. Isinya menceritakan tentang Rama, putra raja di
Ayodya, yang bersedia dibuang selama 14 tahun demi kepentingan adiknya. Dalam
pengembaraan, istrinya –Sita- diculik oleh Rawana, raja di Langka, namun
akhirnya dapat direbut kembali melalui perantaraan balatentara kera.
Mahabharata, bagian
pertama kitab ini ditulis oleh Wyasa. Kitab ini berisi cerita tentang
peperangan besar untuk memperebutkan negara Hastina antara Kaurawa dan Pandawa,
keturunan Dhrtarasta dan Pandu, anak Wyasa. Dan berkat pertolongan Kresna,
Pandawalah yang menang dan mewarisi Hastina.
Kitab
Bhagawadgita
Bhagawadgita
berarti nyanyian Tuhan, dan kitab ini berupaya mewujudkan salah satu bagian
Mahabharata. Isi pokok kitab ini membicarakan tentang pebincangan anatara
Kresna dengan Arjuna pada awal perang Bharatayuddha.
Pokok ajaran yang
terkandung dalam kitab ini ialah mengenai ‘jalan kelepasan’. Baik benda/prakrti
maupun jiwa/purusa berasal dari Tuhan. Jiwa terpenjara dalam tubuh sehingga
dipengaruhi berbagai macam perbuatan benda. Tugas manusia ialah berusaha agar
jiwa dapat ‘lepas’ dan kembali kepada asalnya, yaitu Tuhan. Ada tiga jalan
kelepasan yang diajarkan, yakni:
1.
Jnana-marga, yaitu jalan
kelepasan melalui pengetahuan akan kebenaran yang tertinggi.
2.
Bakti-marga, yaitu jalan
kelepasan melalui kasih dan pemujaan kepada purusa yang tertinggi.
3.
Karma-marga, yaitu jalan
kelepasan dengan menaklukan kehendak sendiri kepada tujuan Tuhan.
Ketiga jalan
kelepasan ini sama-sama menuju satu tujuan, yaitu kelepasan. Kelepasan terdiri
dari persekutuan jiwa dengan Jiwa Yang Tertinggi, yaitu menyaksikan, mengalami,
dan menghayati hidup ilahi. Persekutuan ini disebut berada di dalam Brahman,
tak bersaksi, dan sebagainya.
Kitab
Agama
Kitab-kitab
agama adalah kitab-kitab yang menguraikan tentang dewa-dewa dan bagaimana cara
memuja serta menyembahnya. Kitab ini juga disebut sebagai kitab Tantra. Istilah
tantra sendiri berarti apa yang menjadikan pengetahuan yang disebarkan. Penulis
kitab ini tidak dikenal. Kitab Agama ini mengandung pokok ajaran yang
membicarakan lima hal, yakni penciptaan alam semesta, peleburan alam semesta,
penyembahan dewa-dewa, jalan mencapai kesaktian, dan persekutuan dengan zat
yang tertinggi.
Aliran
keagamaan
Pada zaman
sesudah agama Buddha, dengan bersumber kepada kitab-kitab yang bermacam-macam
muncullah beberapa aliran/mazhab yang menurut pokok ajarannya dapat dibedakan
menjadi:
1.
Mazhab Wisnu, pada
umumnya, yang disembah oleh pengikut mazhab ini ialah dewa Wisnu, atau
istrinya, atau juga salah satu di antaranya. Pengikut mazhab Wisnu ini
memberikan tanda kasta pada dahi mereka, yaitu tiga garis tegak lurus yang
dibuat dari abu. Ajaran mazhab ini lebih condong kepada bakti (penyerahan
diri), bukan pada Jnana atau pengetahuan. Sehingga mereka lebih
menghargai hidup yang dianggap sebagai sesuatu yang suci dan patut dinikmati.
2.
Mazhab Siwa, para
pengikut mazhab ini menyembah dewa Siwa yang biasanya disandingkan dengan
permaisurinya, yakni Parwati. Dewa Siwa dianggap sebagai dewa bagi kelahiran
kembali. Bentuk yang paling terkenal untuk menyembah Siwa dalam fungsi ini
ialah Lingga, simbol yang berbentuk kelamin laki-laki. Lingga ini ditempatkan
di kuil-kuil untuk disembah. Pokok ajaran mazhab ini memandang
bahwa Jnana/ pengetahuan adalah jalan kelepasan yang lebih pasti daripada
bakti. Sekalipun bakti juga mempengaruhi mazhab ini.
3.
Mazhab Sakta, yang
disebut sakta ialah penyembah sakti, yaitu tenaga ilahi Tuhan. Sakti biasanya
diwujudkan dalam satu perwujudan, misalnya sebagai Kali, Durga, Tara, Kamala,
dan sebagainya. Sakti juga memiliki banyak aspek, namun dua yang paling penting
diantaranya ialah sebagai ibu-ilahi dan sebagai dewi yang mengerikan.
Selain ketiga
aliran keagamaan di atas, masih ada sebuah bentuk kepercayaan (agama) yang saat
itu berkembang di tengah-tengah masyarakat. Aliran keagamaan tersebut dikenal
sebagai Agama Rakyat. Agama rakyat
ialah suatu campuran antara animisme dengan segala sistem keagamaan yang ada.
Selain menyembah roh nenek moyang dan roh lainnya, rakyat juga menyembah segala
macam dewa yang ada, binatang yang dijadikan kendaraan dewa, maupun binatang
dan tumbuhan suci lainnya.
1.
Pemujaan dewa sehari-hari. Ada tiga macam dewa yang biasanya disembah, yaitu
Gramadewata (dewa desa/kota), Kuladewata (dewa keluarga), dan Istadewata (dewa
perorangan). Pemujaan dewa yang pertama dilakukan dikuil desa atau kota, dan
dewa kedua biasanya dipuja di tempat suci yang disediakan khusus dihalaman
rumah atau paling tidak dengan memiliki patung dewa tersebut yang disimpan di
dalam peti dan nanti dikeluarkan jika akan disembah, sedangkan dewa ketiga
biasanya ditemaptkan di kamar pribadi atau di dalam peti kecil yang dapat
dibawa kemana-mana.
2.
Pemujaan pada binatang. Sejak
zaman dulu, penganut Hindu sering menyendiri ke hutan guna bersemedi, ini
membuat mereka dekat dengan penghuni hutan dan binatang-binatang serta
menghargai keberadaannya. Dalam kesusastraan India binatang-binatang memiliki
peranan penting, terutama pada zaman Ramayana yang disitu dianggap sebagai
titisan dewa-dewa. Ada beberapa binatang yang dipuja oleh
mereka, diantaranya kera yang dianggap sebagai titisan dewa dan makhluk sorgawi
yang setia membantu Rama, ular yang menjadi raja ular berkepala seribu
merupakan ranjang Wisnu dan Siwa pun menjadikan ular sebagai perhiasan untuk
menghias dirinya, dan beberapa binatang dianggap sebagai kendaraan para dewa,
seperti lembu jantan yang dianggap sebagai kendaraan Siwa, garuda sebagai
kendaraan Wisnu, merak sebagai kendaraan Dewi Saraswati, angsa sebagai
kendaraan Brahma, tikus sebagai kendaraan Ganesa, singa sebagai kendaraan
Durga, kerbau sebagai kendaraan Yama, gajah sebagai kendaraan Indra, dll.
3.
Pemujaan pada tumbuh-tumbuhan. Contoh
tumbuhan yang dipuja seperti pohon tulis (semacam teratai) yang dianggap
sebagai titisan Laksmi, pohon bayan (sejenis ara), dll.
4.
Pemujaan kepada roh jahat. Selain
dewa, penganut hindu juga menyembah dan memuja roh-roh jahat, seperti raksasa
dan asura yang dipandang suka membinasakan dan suka meminum darah manusia, dan
roh orang mati.
5.
Tempat ziarah. Bagi
penganut hindu, berziarah ke tempat-tempat suci merupakan perbuatan yang
membawa pahala
besar. Beberapa kota yang dianggap suci diantaranya Benares, Mathura, Orissa,
dan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar