Rabu, 07 November 2012

Makalah Perkembangan Agama Hindu Periode Brahmana dan Upanishad


PERIODISASI SEJARAH AGAMA HINDU
PERIODE WEDA
ZAMAN BRAHMANA DAN UPANISHAD


Makalah
Disusun untuk Memenuhi Syarat
pada Matakuliah Hinduisme





Oleh:
Dede Ardi Hikmatullah
NIM: 1111032100037





JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2012


A.      PENDAHULUAN
Secara garis besar perkembangan agama Hindu dapat dibedakan menjadi tiga tahap[1] yang di sini digunakan istilah zaman.
Tahap pertama adalah zaman Weda, yang dimulai saat masuknya bangsa Arya ke India sampai munculnya agama Buddha. Zaman ini dibagi atas ‘tiga periode agama besar’, yang mana periode pertama dikenal sebagai Agama Weda Kuno atau Weda Samhita yang berlangsung dari sekitar abad ke-15 sampai abad ke-10 sebelum masehi. Periode kedua dikenal sebagai Agama Brahmana dimana para pendeta mendominasi dalam hal kekuasaan sehingga pada periode itu terjadi banyak perubahan dalam kehidupan keagamaan Hindu, periode ini berlangsung dari sekitar abad ke-10 sampai abad ke-6 sebelum masehi. Dan periode ketiga dikenal sebagai Agama Upanishad. Periode ini berlangsung dari sekitar abad ke-6 sampai abad ke-5 sebelum masehi dengan ditandai oleh munculnya pemikiran-pemikiran berbau kefilsafatan dikalangan pemikir agama, hal ini sebagai respon atas dominasi para pendeta pada periode Brahmana.
Tahap kedua adalah zaman agama Buddha. Zaman agama Budhha ini diperkirakan berlangsung antara abad ke-5 sampai abad ke-3 sebelum masehi. Dan tahap ini juga dibagi menjadi beberapa periode.
Sedangkan tahap ketiga adalah zaman setelah agama Buddha yang dikenal dengan zaman agama Hindu. Tahap ini dimulai sejak abad ke-3 sebelum masehi hingga sekarang.
Dalam makalah ini akan sedikit diuraikan mengenai perkembangan agama Hindu pada tahap awal, yakni zaman Weda. Dari kitab-kitab suci pada zaman tersebut, dapat diketahui bahwa perkembangan agama Hindu sangat menampilkan corak dan pandangan hidup para pemeluknya. Seperti yang sudah disinggung diatas, zaman ini dibedakan menjadi beberapa periode, yaitu periode Weda, periode Brahmana, periode Upanisad. Namun ada juga yang mencantumkan satu periode tambahan, yaitu periode  Tantrayana.
Karena uraian mengenai periode Weda menjadi pembahasan terpisah, maka makalah ini hanya akan memfokuskan pembahasan pada dua periode setelahnya, yaitu periode Brahmana dan periode Upanisad.      

B.       ZAMAN WEDA (VEDIC PERIOD)
a.    Periode Brahmana
Pada periode ini terdapat satu kitab suci yang dijadikan pedoman utama, yakni kitab Brahmana. Kitab Brahmana ini merupakan kitab suci yang menguraikan masalah yajna (sesaji) dan upacara-upacaranya, yang meliputi arti suatu yajna serta tenaga ghaib apa yang tersimpul dalam upacaranya, dan sebagainya. Tiap-tiap yajna ditetapkan dengan cermat sekali menurut peraturan-peraturannya. Penyimpangan sedikit saja dari peraturan-peraturan itu dapat menyebabkan batal dan tidak sahnya suatu yajna.
Kitab Brahmana ini disusun oleh para pendeta Brahmana sekitar abad ke-8 SM. Untuk menjelaskan tentang daya kekuatan korban. Kitab ini berbeda dengan kitab Weda Samhita, sehingga tidak berisi puji-pujian kepada para dewa, tetapi kitab ini berisi keterangan-keterangan dari para Brahmana tentang korban dan sesaji. Keterangan-keterangan tersebut disertai dengan mitos dan legenda tentang manusia dan para dewa dengan memberikan ilustrasi ritus-ritus korban.[2] Para Brahmana juga menekankan dan membahas upacara pengorbanan dan teknik yang benar dalam pelaksanaannya. Termasuk penjelasan dalam menggunakan mantra dalam upacara dan menimbulkan kekuatan mistik dari pengorbanan itu..[3]
Mengenai yajna sendiri, untuk yajna yang demikian pentingnya dan upacara-upacara yang begitu rumit, disusunlah kitab-kitab penuntun yang disebut dengan Kalpasutra. Kitab ini ada dua macamnya sesuai dengan adanya dua macam yajna, yaitu:
-    Grhyasutra, yang merupakan penuntun untuk yajna-yajna kecil dalam lingkungan keluarga
Srautasutra, yang merupakan penuntun untuk yajna-yajna besar dalam lingkungan raja-raja dan negara.[4]        
Pada periode ini, para Brahmana sangat memegang kendali atas umat, khususnya dalam menjalankan roda pemerintahan dan kekuasaan. Sehingga saat itu terkesan adanya ‘pemanfaatan’ atas yajna-yajna yang diserahkan oleh umat kepada mereka. Hal ini yang nantinya mengundang kritik dari para pemikir agama Hindu yang pro-umat.
Pada periode ini juga terdapat beberapa hal yang menarik untuk dikaji, diantaranya yaitu:
1. Kaum pendeta
Pendeta adalah sesepuh agama atau orang yang mengerti dalam suatu hal yang berbau agama. Dalam agama Hindu pendeta adalah orang yang suci sekaligus dianggap sebagai orang yang paling dekat dengan para dewa.  
2. Korban
Pergeseran penting dalam hal korban ialah semakin tingginya nilai yang diberikan kepada korban tersebut sehingga berhasil atau tidaknya maksud dan tujuan korban sangat tergantung pada kekuatan yang ada didalam korban itu sendiri, tidak tergantung pada kemurahan dewa tetapi pada kekuatan yang ada pada arti dan bunyi mantra-mantra dan perbuatan dalam korban tersebut. Dalam hal ini pemilihan mantra yang tepat akan menjamin keberhasilan dalam hal persembahan sebuah korban.[5]
Dalam kitab Brahmana dan kitab Weda korban diterangkan secara panjang lebar. Ada dua macam korban, yaitu:
-       Korban besar
Korban besar ini menggunakan empat macam api suci dan dilakukan oleh para pendeta atas permintaan orang yang memerlukannya. Korban terpenting dalam korban besar ini disebut dengan somayajna. Salah satu somayajna ialah korban kuda (Aswameda). Setiap raja berkeinginan untuk melakukan korban ini karena dianggap sebagai ujian bagi kekuasaan dan kekuatannya. Dengan korban ini ia akan menjadi seorang Cakrawartin, raja seluruh alam semesta, pencipta perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan. Seperti halnya dalam agama Weda, korban dalam agama Brahmana ini juga dilakukan oleh empat orang pendeta yang dibantu oleh pembantu masing-masing. Pendeta adwaryu menyelenggarakan kurban dengan mengucapkan lafal-lafal yang diambil dari Yajurweda. Korban besar diuraikan dalam Srautra-Sutra.
-       Korban kecil
Korban kecil banyak diuraikan dalam Grhya-Sutra. Korban ini hanya memerlukan kelengkapan yang sederhana, cukup dengan api suci yang ditaruh di setiap rumah tangga. Api tersebut dibuat oleh kepala keluarga begitu ia membentuk rumah tangga. Nitya  termasuk korban kecil yang harus dilakukan pada saat-saat tertentu, seperti permulaan musim baru, bulan muda, bulan purnama, waktu menyemaikan benih dan waktu permulaan panen, dan kurban untuk para pitara. Upacara korban tersebut sebenarnya bukan lagi merupakan upacara agama yang sebenarnya. Korban di sini bukan lagi berpusat pada dewa akan tetapi pada manusia dan hubungan antara manusia dengan dewa sudah merupakan hubungan yang bersifat magis saja.
3. Kasta
Agama Brahmana mengenal adanya kasta-kasta, yaitu kasta Brahmana (pendeta), Ksatria (pemegang tampuk pemerintah), Waisya (pekerja), dan Sudra (rakyat biasa). Sebenarnya dalam Rigweda hanya ada dua “varna” saja, yaitu Arya Varna (kulit kuning) dan Dasyu Varna (kulit hitam). Jumlah kasta itu sendiri sebenarnya sangat banyak. Menurut Bleeker, sistem ini berpangkal pada keempat golongan tua dari suku Arya, yaitu dari golongon pendeta Brahmana, golongan perwira (ksatria), golongan pedagang atau petani (waisya), dan golongan buruh atau budak (sudra). Di luar keempat kasta ini masih ada lagi suatu kasta atau golongan yang tidak boleh di dekati atau disentuh, yaitu kasta Paria (outcast). E.A. Gait mengatakan bahwa pada umumya bangsa Arya tidak suka akan perkawinan antar suku, tidak suka makan bersama denga suku yang lebih rendah apalagi dengan yang berkulit hitam. Akan tetapi, akibat peperangan beberapa suku kekurangan istri sehingga terpaksa kawin dengan orang–orang pribumi. Jelas bahwa anak-anak mereka ini  akan di anggap lebih rendah status sosial mereka. Demikianlah keturunan kedua telah menimbulkan kelas antara bangsa Arya asli dan bangsa pribumi, yaitu orang-orang yang berdarah campuran. Perkembangan seperti ini kemudian menimbulkan adanya prinsip dasar peraturan catur varna (empat kasta) adalah endogamis. Perpindahan kasta tidak diperbolehkan dan juga tidak mungkin. Artinya, seorang laki-laki harus hanya kawin dengan wanita dari kasta yang sama, dan anaknya lahir dalam kasta yang sama dengan orang tuanya.[6]
4. Asrama
Asrama adalah tingkatan hidup. Dalam agama Brahmana disebutkan adanya empat tingkatan hidup yang harus dilalui setiap orang penganut agama tersebut. Sebelum memasuki keempat tingkatan tersebut setiap orang harus lebih dahulu melakukan upacara upanayana, yaitu upacara menjadikan seseorang anak menjadi “dwija” dan resmi sebagai anggota kasta, serta siap memasuki tingkatan hidup yang pertama, yaitu kehidupan sebagai Brahmacarin. Anak tadi akan  meninggalkan rumah orang tunya dan menetap sebagai siswa (sisya) di kediaman seorang guru untuk mempelajari isi kitab Veda dan pengetahuan keagamaan lainya. Ia harus tunduk terhadap gurunya dan istri guru, patuh melaksanakan segala perintahnya dan harus mencari makan sendiri dengan cara minta-minta. Sebagai imbalanya dia akan menerima pelajaran dari guru terutama tentang Dharma dalam kitab suci. Kalau sudah selesai, anak segera pulang dan kawin. Mulaiah ia memasuki tingkatan kedua, Grhasta, yang dimulai dengan perkawinan. Upacara perkawinan termasuk upacara terpenting yang diselenggarakan di rumah. Selesai melakukan upacara ini, kedua mempelai melangkah sebanyak tujuh langkah ke timur-laut sambil diperciki air suci. Sambil memegang tangan istrinya, suami sambil mengucapkan mantra-mantra kemudian membawa api suci yang harus tetap dipeliharanya di rumah. Setelah itu mulailah kehidupan sebagai suami-istri. Ia menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab mendidik anak-anaknya dan melaksanakan kewajiban terhadap para dewa dengan menjalankan sesaji dan upacara korban. Ia juga harus melaksanakan kewajibannya yang berhubungan dengan mayasarakat. Tingkatan ketiga adalah Vanaprastha (kehidupan di hutan, vana=hutan). Tingkatan ini adalah tingkatan yang harus ditempuh apabila seseorang sudah mencapai usia lanjut. Segala kewajibanya sebagai kepala keluaraga diserahkan kepada anak laki-laki. Adakalanya ia masuk hutan bersama istrinya supaya memberikan ketenangan dan keheningan berfikir dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup. Segala ikatan duniawi harus dilepaskannya untuk sepenuhnya mengabdikan diri secara keagamaan. Tingkatan terakhir, atau yang keempat, ialah Sanyasin, yaitu tingkat pertapa yang telah lepas dari kehidupan dunia. Sekalipun ia masih hidup di dunia ini namun ia sama sekali telah melepaskan diri dari permasalah dunia sehingga kesempatan untuk mencapai moksa.[7]
 5. Dewa-dewa
Bila kita perhatikan perkembangan pemujaan saat ini dewa-dewa dalam kitab suci Veda, khususnya Indra, Vayu, Aditi dan lain-lain, nampaknya tidak dipuja lagi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal ini tidak lain, karena kedudukan dewa-dewa tersebut di atas, pada zaman kitab-kitab Purana disusun tidak lagi dipuja karena fungsi dan peranannya digantikan oleh Tiga Devata Utama, manifestasi-Nya yang kita kenal dengan Tri Murti. Dewa Agni diidentikan dan digantikan oleh Brahma, Indra dan Vayu diidentikan dan digantikan oleh Visnu, walaupun dalam kitab suci Veda, Visna adalah nama lain dari Surya dan Surya sendiri diidentikan dan digantikan fungsi dan peranannya oleh Siva. Ketiga dewa-dewa ini dengan “parivara devata”-Nya (keluarga dewa-dewa, sakti atau istrinya, putra-putrinya termasuk pula pengiringnya) mendapat pujaan yang khusus.
Penggambaran dewa-dewi dalam wujud tertentu, dimaksudkan untuk lebih mudah membayangkan-Nya, sesuai sifat-sifat yang didambakan oleh umat kepada-Nya. Selanjutnya disampaikan penggambaran dewa-dewa dalam Veda,  di antaranya sebagai berikut:[8]
1. Dyaus
Dewa Dyaus adalah dewa langit. Ia merupakan bapak dari para dewa dan merupakan dewa tertua dari seluruh dewa dalam Veda maupun Susastra Hindu. Di dalam mantram Veda dilukiskan sebagai dewa Akasa (langit). Dyaus dikenal sebagai dewa yang paling berkuasa atas surga. Di dalam mantram pujian (stava) Dyaus sering dikaitkan dengan Prithivi sehingga terbaca Dyavaprthivi, sebagai lambang bapak-ibu yang bersifat paternal. Nama Dyaus di dalam Rgveda terbaca tidak kurang dari 50 kali. Ia digambarkan sebagai: besar, bijaksana dan energik yang mengajarkan kebajikan kepada penyembahnya. Di dalam berbagai mantra Rgveda, ia disebut juga sebagai pencipta semua makhluk. Sebagai bapak ia digambarkan dalam bentuk fisik yang kekar, berewok. Ia disebut Dyaus Pitar yang berarti bapak Sorga. Dalam bahasa Latin dikenal Yupiter, sedang dalam bahasa Yunani Kuno disebut Zeuspitar atau Zeupita. Diduga kata Dyaus berasal dari kata div (memancarkan sinar atau cahaya) yang artinya sama dengan dewa.
2. Prthivi
Dewi Perthivi adalah dewa bumi, digambarkan seorang wanita yang sangat ramah dan merupakan dambaan setiap orang. Dewa ini disebut beberapa kali di dalam kitab Veda (Rgveda). Parthivi artinya yang mempunyai permukaan lebar, yang dimaksud adalah bumi. Ia dikenal dengan Ibu yang sangat baik. Dalam Pura ia disebut melahirkan seorang putra yang bernama Bhoma (Neraka), dalam Ramayana, ia disebut menjelma sebagai Sita. Nama lainya adalah : Vashundari, Ksitidharani dan lain-lain.
3. Aditi dan Aditiya
Aditi selalu disebut sebagai sorang dewi, Ibu para dewa. Ia disebut sebagai dewi yang memberi kebahagiaan. Aditi merupakan personifikasi dari Ibu alam semesta, Hiranyagarbhah dalam Rgveda. Ia disebut maha pengampun, melenyapkan dosa manusia. Dalam Regveda dinyatakan Aditi lahir dari Daksa, tetapi versi yang lain menyatakan bahwa Daksa adalah putra dewi Aditi. Versi yang lainnya menyatakan lagi bahwa Aditi bersaudara dengan Daksa, ibu dari Vivasit. Aditiya berarti putra Aditi, pada umumnya diartikan sebagai dewa-dewa yang merupakan satu kelompok. Ia dipersonifikasikan sebagai dewa yang mempunyai kekuasaan yang paling tinggi sebagai perwujudan dari hukum yang mengatur peredaran alam semesta. Ia mengatur tata-surya dan mengatur hukum dunia. Ia bersemayam di langit, di alam yang tertinggi, menguasai seluruh hidup dan materi sebagai mantra (elemen).
4. Agni (dewa api)
Agni sering disebut dalam Veda, di samping Indra dan Surya. Di dalam mantram pertama, Sukta pertama dalam Mandala pertama kitab suci Rgveda, Agni disebut Purohita para devata dan penganugrahkan kemakmuran dan kebahagiaan. Ia disebut sebagai saksi yang tetap eksis sampai kini dalam setiap pemujaan umat Hindu. Fungsi Agni sebagai pandita, sebagai duta, sebagai pemberi berkah, sebagai akhil Veda, penjaga rumah sebagai saksi dan lain sebagainya menyebabkan Agni tetap dimulyakan.
5. Surya
Surya adalah dewa matahari, ia  dipuja sebagai wajah Agni di angkasa (Rgveda x. 7. 3), matanya Mitra dan Varuna, sebagai dewanya mata atau maha melihat. Dewa Surya seperti telah disebutkan di depan adalah putra Aditi dengan Dyaus, Dewi Usas (fajar) adalah saudaranya perempuan. Savtr sering dihubungkan dengan matahari pagi dan Surya dihubungkan dengan matahari pada siang hari sampai terbenam. Pengercaan dewa Surya berwarna merah tembaga, merah dan coklat. Ia sangat kasih, pemurah, melenyapkan ketakutan, dikelilingi oleh kekuatan hidup, para Rudra, menjadi tempat perlindungan diseluruh penjuru (Nilarudra Upanisad I.9).   Dan masih banyak lagi dewa-dewi  dalam Veda di Antaranya: Varuna, Asvin, Usas, Indra, Vayu, Soma, Visvakarma, Yama, Rudra, Sarasvati, Brahma, Visnu, Siva, Parvati, Durga, Ganesa, Sri Laksmi.[9]       
Dengan uraian-uraian tersebut diatas, maka jelaslah bahwa corak ke Tuhanan Hinduisme adalah poytheisme yang infinitive (tidak terbatas) di dalam mana dewa-dewa digambarkan secara fantastis dalam bentuk manusia biasa atau pun luar biasa, yang dipatungkan.[10] 
6. Sutra-sutra
Sutra yang artinya petunjuk.[11] Kitab Sutra sebagai tafsir dari kitab Brahmana yang terdiri dari 2 macam kitab sebagai berikut :[12]
a) Srautra Sutra: berisi petunjuk-petunjuk upacara-upacara/ kurban-kurban yang wajib dikerjakan oleh raja-raja yang dibagi menjadi 3 macam :
-       Raja Surya yaitu upacara dalam pelantikan raja naik tahta.
-       Aswameda ialah kurban kuda yang harus dilakukan sekali setahun, sebagai tanda kebesaran raja (sabagai maha raja).
-       Purushameda yaitu kurban manusia yang diberikan oleh raja (yang kemudian dihapuskan).
b) Gerha-Sutra : ialah tata cara/kurban untuk setiap kepala keluarga yang terdiri dari :
-       Nitya yaitu kurban wajib diakukan setiap hari oleh kepala kelurga terhadap roh-roh nenek moyang (pitana)
-       Naimittika ialah kurban yang hanya dilakukan sekali seumur hidup. Kurban yang demikian ini ada hubungannya dengan periode hidup manusia (samskara) misalnya pada saat kelahiran, pemberian nama, makan nasi pertama, memotong rambut pertama dan sebagainya.
-       Upanayana ialah upacara memasuki kasta dengan pemberian Upavita (tali kasta) pada umur 8-12 tahun, setelah itu datanglah upacara perkawinan dan sebagai penutup upacara ialah upacara kematian yang berupa pembakaran mayat. 

b.   Zaman Upanishad
Istilah Upanishad sendiri berasal dari kata upa, ni dan shad. Kata  upani mempunyai arti dekat, atau di dekatnya. Sedangkan kata shad berarti duduk. Jadi secara kebahasaan kata upanishad berarti duduk dekat. Namun secara keistilahan kata ini berarti duduk didekat seorang guru untuk menerima ajaran dan pengetahuan yang lebih tinggi. Istilah ini selanjutnya menjadi nama agama, yang mana kitab suci yang dijadikan sebagai  pedoman utama ialah kitab Upanishad sendiri. Kitab Upanishad ini berbentuk dialog antara seorang guru dan muridnya, atau antara seorang Brahmana dengan Brahmana lainnya. Kitab Upanishad adalah salah satu bagian saja dari kitab-kitab Aranyaka.
Kitab Uphanisad berisikan bahasan yang bersifat mistis dan filosofis tentang brahman, kejadian alam semesta, diri, jiwa dan atman serta cara memulangkan atman kedalam brahman  Jumlah kitab ini sangat banyak, lebih dari 200 judul. Namun ada beberapa sumber yang mengatakan jumlah kitab ini hanya 108 buah dan banyak di antaranya berasal dari zaman yang tidak terlalu tua, dan dari 108 buah kitab hanya 16 yang di akui keotentikannya, yaitu katha, isha, kena, prasna, anduka, mandukya, taitriya, aitareya, chandogya, bridahardayaka, kaivalaya, svetasvatara arsheya, satapatha, kaushitaki, dan Jaiminiya[13]. Adapun untuk penyusunan kitab-kitab ini diperkirakan terjadi antara tahun 600 dan 300 sebelum masehi.[14]
Untuk kegiatan keagamaan di periode Upanishad sendiri, lebih ditekankan kepada ajaran filsafat tentang Brahman dan segala ciptaan-Nya. Pandangan yang menonjol di dalam kitab-kitab Upanisad itu adalah ajaran yang monistis dan absolut, artinya ajaran yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini dialirkan dari satu asas, satu Realitas yang tertinggi.[15]
Sebelumnya, pada periode Brahmana, para pendeta sangat berkuasa. Dan terkadang mereka seolah-olah memanfaatkan posisi mereka sebagai penjalan pemerintahan dan tampuk kekuasaan. Sehingga penganut awam agama Hindu merasa dipermainkan dan dimanfaatkan, khususnya berkaitan dengan upacara penyembahan sesaji dan kurban. Hal ini mendorong para pemikir agama yang prihatin akan nasib umat untuk mengadakan kajian ulang mengenai ajaran para Brahmana tersebut yang menekankan pada kegiatan keagamaan berupa upacara kurban. Mereka mencari jalan keluar untuk memprotes dominasi para Brahmana sekaligus membela umat awam. Jalan yang mereka tempuh tidak lain melalui kajian kritis terhadap doktrin ajaran para Brahman.
Periode Upanishad ini juga disinyalir merupakan periode awal mula lahirnya filsafat, yang bertolak pada kajian kritis para pemikir agama tersebut. Hal ini terlihat dari ajaran mereka yang tidak terlalu membahas praktek kurban melainkan lebih kepada hubungan manusia dengan brahman. Para pendeta sekaligus pemikir agama saat itu gencar mengajarkan pemahaman mereka kepada umat. Ada beberapa pokok ajaran utama yang saat itu diajarkan, diantaranya:    
1. Brahman
Ada perbedaan yang sangat mendasar antara pengertian Brahman dalam Upanishad dengan pengertian kata tersebut dalam agama Brahmana. Mula-mula Brahman berarti do’a dan kemudian kekuatan goib yang terkandung dalam do’a.[16]   
Brahman adalah sumber alam semesta. Brahman adalah pencipta, yang menjadikan alam semesta ini. Brahman yang transcendent (Nirguna Brahman) yang berada di luar alam semesta dan jauh di atas alam semesta itu, adalah juga Brahman yang immanent (Saguna Brahman) yang berada di alam semesta dan di dalam diri manusia yang disebut Atman.
2. Atman
Atman adalah jiwa individu. Dan Brahman adalah jiwa yang universal. Atman bukan jasmani, bukan indrawi, bukan kehidupan, bukan pikiran. Atman adalah jiwa, hakekat terdalam dari jiwa individu itu sendiri.[17] Karena itu Upanisad mengajarkan: Tat twam asi yang berarti: Itu (Brahman) adalah kamu (atman). Oleh karena atman setiap orang adalah sama-sama merupakan percikan-percikan kecil dari Brahman, maka tat twam asi dapat diartikan : saya adalah kamu.[18]                
3. Karma
Upanisad mengajarkan bahwa segala sesuatu tunduk dan takluk terhadap karma, baik manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Karma meliputi kehidupan dahulu, sekarang dan yang akan datang. Karma berarti kehidupan atau perbuatan berikutnya sebagai akibat  dari perbuatan sebelumnya.
Hubungan antara ajaran karma dengan ajaran tentang penjelmaan atau perpindahan jiwa merupakan hal yang penting dalam ajaran Upanisad. Vamedawa telah mengembangkan ajaran ini. Manusia harus menanggung akibat perbuatan atau karmanya. Setelah ia mati pengetahuan dan amal perbuatannya akan membimbing dia.
4. Reinkarnasi
Reinkarnasi adalah kelahiran kembali.[19] Reinkarnasi adalah perputaran kalahiran kembali.[20] Hanya manusia yang telah  mencapai atman yang mulia dan yang tahu akan maya saja yang dapat mengatasi hukum karma dan mencapai moksa.

5. Moksa
Moksa adalah pencerahan dan keterlepasan dari keterbatasan.[21] Moksa yaitu kelepasan, dan sadar bahwa segala sesuatu adalah satu. Ia akan mencapai kesatuan dengan Brahman, dan berhak disebut sebagai jiwanmukta.[22]    

C.      KESIMPULAN
Bahwasanya pada jaman Brahmana itu memuat atau menguraikan tentang masalah sesaji kepada dewa-dewa dan upacara-upacaranya, serta berkaitan dengan tenaga gaib yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya, sedangkan pada jaman Upanisad hanya memuat  berbagai ajaran yang membahas tentang ajaran ketuhanan (Bramawidya) yang merupakan dasar kehidupan beragama Hindu. Dan lebih ditekankan kepada ajaran filsafat tentang Brahman dan segala citaannya.

D.      DAFTAR PUSTAKA
A.B Keith, The Religion and Philosophi of Veda and Upanisads.
Ardhana Suparta. Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia. Surabaya: Paramita, 2002
Arifin Muhammad. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: Golden Terayon Press, 1986
Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988. Cet. Ke-1
Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: GITAMEDIA PRESS. Cet.I
Titib Made. TEOLOGI & SIMBOL-SIMBOL dalam AGAMA HINDU. Surabaya: Paramita, 2003
Viresvarananda Svami. Brahma Sutra Pengetahuan Tentang Ketuhanan. Surabaya: Paramita, 2004                                                  
                                                                                                             
                  



[1] A. Singgih Basuki dan Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h.73

[2] Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988), h. 66
[3] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu (Surabaya: Paramita, 2006), h.27.
[4] Ardhana Suparta. Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia. Surabaya: Paramita, 2002. h. 11-12
[5] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988. Cet. Ke-1. h. 68   
[6] Ibid. h. 70-71
[7] Ibid.  h. 71-72
[8] Titib Made. TEOLOGI & SIMBOL-SIMBOL dalam AGAMA HINDU. Surabaya: Paramita, 2003. h. 165
[9] Titib Made. TEOLOGI & SIMBOL-SIMBOL dalam AGAMA HINDU. Surabaya: Paramita, 2003. h. 171
[10] Arifin Muhammad. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: Golden Terayon Press, 1986. h. 65
[11] Viresvarananda Svami. Brahma Sutra Pengetahuan Tentang Ketuhanan. Surabaya: Paramita, 2004. h. 3
[12] Arifin Muhammad. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar. Jakarta: Golden Terayon Press, 1986. h. 60
[13] Ibid, h.31-32.
[14]  A.B Keith, The Religion and Philosophi of Veda and Upanisads, h. 489.
[15] Ardhana Suparta. Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia. Surabaya: Paramita, 2002. h. 14
[16] Mukti Ali. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press,1988. Cet. Ke-1. h. 73
[17] Ibid.74
[18] Ardhana Suparta. Sejarah perkembangan AGAMA HINDU di Indonesia. Surabaya: Paramita, 2002. h. 15
[19] Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: GITAMEDIA PRESS. Cet. I
[20] Ibid. h. 75
[21] Tim Prima Pena. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: GITAMEDIA PRESS. Cet. I
[22] Ibid. h. 75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar