Rabu, 14 November 2012

AGAMA HINDU: SAD DARSANA I


"FILSAFAT SAMKHYA DAN FILSAFAT WEDANTA"

A.  Filsafat Samkya
Dewasa ini agama Hindu telah menjadi agama besar dunia yang tidak hanya menghasilkan seorang Dayananda dan Tilak tetapi juga seorang Gandhi dan Sarvepalli Radhakrishnan, seorang Aurobindo Ghose dan Krishnamurti, warga dunia yang sesungguhnya dan nabi-nabi bagi sebuah agama universal. Apa yang telah terjadi atas agama Hindu ini tidak terlepas dari ajaran agamanya juga tentang kefilsafatannya yaitu filsafat India.
Dalam konteks keilmuan bahasa Sanskerta, filsafat India ini dikenal dengan  istilah Sad Darshana yang merupakan suatu pandangan yang benar terhadap apa yang harus dilakukan oleh seseorang baik moral maupun material untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan yang tertinggi dan abadi (moksa).
Kata Darshana sendiri berarti “melihat”, “pengelihatan” atau “pandangan”. Dalam ajaran Filsafat Hindhu darshana berarti “pandangan tentang kebenaran”
Sad darshana berarti enam pandangan tentang kebenaran yang mana merupakan dasar dari filsafat Hindu. Adapun pokok-pokok ajaran Sad darshana antara lain: Samkhya, Yoga, Mimasa, Nyaya, Waisiseka, Dan Wedanta.
Namun dalam makalah ini kami hanya mencantumkan pengertian dari filsafat sankhya saja karena pembahasan mengenai filsafat lainnya akan dibahas dalam pembahasan lain. Adapun pengertian dari kata Sankya berarti ”Pemantulan”, yaitu pemantulan falsafati. Oleh karena itu aliran ini mengemukakan bahwa orang dapat merealisasikan kenyataan terakhir dari filsafat ini dengan pengetahuan. Pembangun konsep dari filsafat ini adalah Rsi Kapila yang diperkirakan hidup pada zaman sebelum Buddha.Sistem filsafat Samkhya kadangkala dinamakan pula dengan istilah Nir Iswara Samkhya tidak menyebut nama Tuhan. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Kapila adalah karenaTuhan itu sulit untuk dibuktikan. Inilah suatu pernyataan yang menarik untuk diperbincangkan karena Samkhya mengakui adanya Purusa (roh) sebagai asas tertinggi. Cukup banyak penulis yang menyinggung tentang Samkhya dan dapat kita nikmati sampai detik ini, salah satunya adalah Samkhya Karika yang ditulis oleh Iswarakresna.

1.    Konsep Purusa dan Prakerti
Ajaran pokok dari samkhya ialah bahwa adanya dua zat asasi yang bersama-sama membentuk realitas dunia ini yaitu purusa dan prakrti, roh dan benda atau asas rohani dan asas bendani . Purusa adalah asas bendani yang kekal, yang berdiri sendiri serta tidak berubah, berbeda dengan upanishad, samkhya tdak mengakui adanya satu roh atau satu jiwa yang bersifat universal atau umum, yang kemudian dengan bermacam-macam. Sekalipun purusa tidak dapat diamati, namun ada dengan nyata hal ini dibuktikan dengan:
1.    Susunan alam semesta Menunjukan, bahwa beradanya alam semesta alam itu tentu bukan demi kepentingan diri sendiri, melainkan demi kepentingan sesuatu yang berbeda dengan alam semesta itu sendiri. Hal ini dapat disamakan dengan tempat tidur itu sendiri, melainkan demi kepentingan orang yang akan menidurinya. Demikianlah dunia berada bukan demi kepentingan dunia sendiri, melainkan untuk kepentingan yang bukan bukan dunia, yang bukan benda yaitu roh, purusa.
2.    Segala manusia berusaha untuk mendapatkan kelepasan. Hal ini mengharuskan kita menyimpulkan, bahawa tentu ada sesuatu yang dapat mendapat kelepasan itu yang tentu bukan yang bersifat badani yaitu purusa.
3.    Tiap hal yang ada, berada secara sendiri-sendiri, artinya dilahirkan sendiri, mati sendiri, memiliki organismenya sendiri dan seterunya.yang jika disimpulkan banyak sekali individu, ada banyak sekali purusa.
Mengenai prakrti diuraikan bahwa  prakrti atau asas bendani adalah sebab pertama alam semesta, yang terdiri dari unsur-unsur kebendaan dan kejiwaan atau psikologis. Sama halnya dengan purusa, prakerti juga tidak dapat diamati, namun nyata-nyata ada. Bahwa prakerti ada dengan kesimpulan yang diambil dari pertimbangan – pertimbangan berikut:
1.    Tiap hal yang ada di dalam dunia berifat terbatas. Apa yang bersifat terbatas bergantung kepada sesuatu yang tidak terbatas, dan yang berdiri sendiri, yang menyebabkan adanya hal-hal yang terbatas itu. Adapun yang bersifat tidak terbatas ituadalah prakrti.
2.    Tiap hal memiliki sifat-sifat tertentu yang juga dimiliki oleh segala sesuatu yang lain.sifat-sifat itu umpamanya: kesenangan dan kesusahan. Hal ini menunjukan bahwa ada satu sumber bersama yang mengalirkan sifat-sifat itu. Sumber itu adalah prakrti.
3.    Segala akibat timbul dari aktifitas suatu sebab aktifitas yang menyebabkan dunia ini tentu berasal dari suatu sebab pertama.yaitu prakrti.
4.    Suatu akibat tidak mungkin menjadi sebabnya sendiri. Oleh karena itu tentu ada suatu sebab asasi. Yang menyebabkan adanya segala macam akibat itu. Sebab asasi itu tidak lain adalah prakrti.
5.    Alam semesta mewujudkan suatu kesatuan . adanya suatu kesatuan mewujudkan adanya suatu sebab yang menyatukan. Yaitu prakrti.
Menurut ajaran Samkhya ada tiga sumber pengetahuan yang benar (Tri Pramana). yaitu Pratyaksa (pengamatan langsung), Anumana (didasarkan atas kesimpulan), dan Sabda pramana (pernyataan). Tentang pengetahuan yangdidapat atas dasar Sabda dapat dibagi dua yaitu Laukika = kesaksian yang diberikan oleh orang yang dapat dipercaya; Waidika = kesaksian Weda.
Di dalam etika Samkhya tidak membedakan seseorang atas golongannya untuk mempelajari kitab suci Weda. Setiap orang dianjurkan untuk mengendalikan pikiran agar terjadi keseimbangan di dalam dirinya sendiri dan lingkungannya. Menurut Samkhya pribadi yang tampak bukanlah pribadi yang sebenarnya melainkan khayalan, pribadi yang sesungguhnya adalah purusa atau roh itu sendiri.
Tujuan akhir dari ajaran Samkhya adalah kelepasan. Kelepasan dapat dicapai oleh seseorang bila ia menyadari bahwa purusa tidak sama dengan alam pikiran, perasaan dan badan jasmani. Bila seseorang belum menyadari akan hal itu, maka ia tidak akan dapat mencapai kelepasan. Akibatnya ia mengalami kelahiran yang berulang – ulang (samsara/punarbhawa). Jalan untuk mencapai kelepasan adalah melalui pengetahuan yang benar, latihan kerohanian yang terus – menerus untuk merealisasikan perbedaan purusa dan prakerti dan cinta kasih terhadap semua mahluk (tatwam asi). Dengan demikian Samkhya menekankan pada jalan jnana dalam wujud wiweka dan kebijaksanaan untuk melepaskan purusa dari jebakan prakerti (tri guna).

2.    Ajaran Tentang Kelepasan
Ajaran tentang Moksa atau kelepasan merupakan tujuan akhir dari filsafat Samkhya. Hidup di dunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat dinikmati, banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila seseorang dapat menghindar dari kesusahan dan sakit, maka ia dapat menghindarkan diri dari ketentuan dan kematian. Ada tiga macam sakit dalam hidup ini, yaitu : Adhyatmika, Adibhautika dan Adidaivika. Adhyatmika adalah sakit karena sebabnya dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-alat tubuh yang tidak normal dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan gangguan jasmani dan rohani seperti sakit kepala, takut marah dan sebagainya. Adibhautika adalah sakit (Vyadhi) yang disebabkan oleh faktor ,luar tubuh, seperti terpukul, kena gigitan nyamuk dan sebagainya. Adidaiwika adalah penyakit (Vyadhi) yang disebabkan oleh kekuatan gaib seperti setan, hantu dan lain-lainnya. Tidak seorangpun yang ingin menderita sakit semuanya ingin hidup bahagia. Lepas dari susah dan sakit tetapi kenyataanya tidaklah demikian. Selama orang masih berbadan lemah, selama itu sukha dan dukha, sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian itu suka dan dukha. Sakit dan sehat selalu berdampingan. Dengan demikian tidak perlu bercita-cita hidup yang menyenangkan terus, cukup hidup yang normal, biasa-biasa saja dengan berusaha melepaskan penderitaan atas dasar pikiran yang sehat. Dalam ajaran Samkhyakelepasan itu adalah penghentian yang sempurna dari semua penderitaan. Inilah tujuan terkhir dari hidup kita.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memperingan hidup kita, namun tidak dapat melepaskan kita dari penderitaan sepenuhnya. Samkhyamengajarkan bahwa cara mencapai kelepasan itu ialah melalui pengetahuan yang benar atas kenyataan dunia ini. Tiadanya pengetahuan itulah yang menyababkan seseorang menderita. Dalam banyak hal orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum alam dan hukum kehidupan terbentur pada masalah yang membawanya pada kesedihan. Berbeda halnya dengan orang-orang berpengetahuan akan menerima dan menikmati kenyataan hidup ini. Namun karena pengetahuan terhadap kenyataan itu tidak sempurna, maka ia tidak sepenuhnya lepas dari penderitaan. Kelepasan itu hanya akan dicapai bila pengetahuan terhadap kenyataan itu sudah sempurna.
Menurut Samkhya Roh ( Purusa ) itu bukan badan, dan badan selalu ingin dipuakan. Menyamakan roh dengan badan adalah kebodohan, kebodohan adalah akar penderitaan. Kelepasan tercapai bila seseorang menydari perbedaan itu. Untuk mencapai bila seseorang menyadari perbedaan itu. Untuk menyadari hal itu denagan sempurna perlu latihan rohani dan renungan kebatinan yang terus menerus. Ajaran tentang hal ini diuraikan dalam ajaran Yoga. Dua macam kelepasan itu, yaitu Jiwanmukti, yakni kelepasan Roh selama hidup ini, dan Widehamukti, yakni kelepasan ( Moksa ), terlepasnya Atman (roh) dari ikatan badan kasar dan badan halus (Sthula dan Suksma sarira ). Inilah tujuan filsafat Samkhya. Pertemuan Purusa dengan Prakrti disebut Samyoga, Purusa merupakan sinarnya Prakrti disebut Bhokta. Dan Sifat Prakrti yang tidak pernah diam disebut Samyawastha. Kebodohan disebut Awiweka dan pengetahuan untuk membedakan Purusa dan Prakrti (Roh dan badan, yang kekal dan yang sementara/Ksanika)disebut Wiwekajnana. Inilah ajaran yang mendasar dalam Samkhya.
Tugas manusia adalah berbuat sedemikian rupa, sehingga jiwanya dapat kembali kepada asalnya (Tuhan). Jalan kelepasan ada tiga; Pertama, Jnana-Marga. Jalan kelepasan melalui pengetahuan akan kebenaran yang tertingggi. Kedua, Bhakti-Marga. Jalan kelepasan dengan melalui kasih dan pemujaan kepada Purusa yang tertinggi. Ketiga, Karma-Marga. Jalan kelepasan dengan penaklukan kehendak sendiri kepada tujuan Tuhan. Ketiga jalan kelepasan ini sama-sama menuju satu tujuan, yaitu kelepasan. Orang mendapatkan kelepasan melalui segala segi kesadaran hidup. Tak ada perbedaan mutlak antara jalan-jalan itu. Ini disebabkan kehudupan ilahiyah yang tak terpisah-pisah adanya Tuhan adalah Sat (kenyataan), Cit (kebenaran), Ananda (kebahagiaan). Tuhan yang demikian itu menyatakan dirinya sebagai terang yang kekal bak matahari pada tengah hari kepada orang-orang yang mencari pengetahuan. Tetapi ia menyatakan diri sebagai keadilan yang kekal kepada mereka yang bergumul bagi kebajikan. Akhirnya Tuhan menyatakan diri sebagai kasih keindahan, kesucian yang kekal kepada mereka yang mencarinya dengan kasih dan pemujaan. Sebagaimana Tuhan mempersatukan di dalam dirinya sendiri hikmat, kebaikan dan kesucian, demikianlah manusia harus  menuju kepada hidup rohani yang tak terpisah. Dengan demikain, kelepasan terdiri dari persekutuan jiwa dengan jiwa tertinggi, yaitu menyaksikan, mengalami dan menghayati hidup ilahi. (Harun Hadiwijoni, 1982:29-30)
3.    Tujuan Akhir Ajaran Samkhya
Tujuan akhir dari Ajaran Samkhya adalah kelepasan. Kelepasan dapat dicapai oleh seseorang bila orang tersebut menyadari bahwa purusa tidak sama dengan alam pikiran, perasaan, dan badan jasmani. Bila seseoarng belum menyadari hal itu, maka ia tidak akan dapat mencapai kelepasan, akibatnya ia mengalami kelahiran yang berulang-ulang. Jalan untuk mencapai kelaepasan adalah melalui pengetahuan yang benar, latihan kerohanian yang terus menerus,merealisasikan perbedaan purusa dan prakerti serta cinta kasih terhadap semua makhluk. Dengan demikian samkhya menekankan pada jalan jnana dalam wujud wiweka dan kebijaksanaan untuk melepaskan purusa dari jebakan prakerti.

B.  Filsafat Wedanta
1.    Wasistadwaita
Pemecahan sangkara terhadap persoalan yang di timbulkan Upanisad yaitu bahwa Brahman, di satu pihak di anggap sama dengan jiwa perorangan dan dengan dunia, akan tetapi di lain pihak di bedakanya, ternyata belum memuaskan segala pihak. Pembedaan sangkara antar Brahman yang tidak bersifat, dan Brahman yang bersifat (Nirguna dan Saguna Brahman) belum dapat di terima oleh semua golongan. Setelah jaman sankara timbul lah perdebatan tentang Brahman, yaitu apakah Brahman harus di pandang sebagai tanpa sifat (Nirguna) atau sebagai sifat (Saguna).
Pemecahan yang lain diberikan oleh Ramanuja (1050-1137). Ia berusaha mempersatukan ajaran sekte Wisnu dengan filsafat Wedanta. Ramanuja menulis buku berjudul Sri Bhasya dan menulis komentar tentang Bhagawadgita. Aliranya di sebut dengan Wasistadwaita. Wasistadwaita berasal dari kata Wasista dan dwaita. Wasista berarti “yang di terangkan” atau “yang di tentukan” yaitu oleh sifat-sifatnya. Jadi Brahman yang satu itu diberi keterangan oleh sifat-sifatnya.
Cara Ramanuja menjelaskan pandanganya itu adalah dengan mempergunakan “cara orang memakai bahasa” pada umumnya. Di dalam kenyataan sehari-hari kita sering mengidentikkan hal-hal yang sebenarnya berbeda; umpamanya Mawar adalah merah. Mawar adalah Subtansi, sedangkan merah adalah suatu sifat. Jadi keduanya tidaklah sama. Akan tetapi kita menguraikanya seolah-olah keduanya itu sama: “mawar adalah merah” suatu teladan yang lain. Dimana kita menyamakan dua hal yang berbeda ialah di dalam ucapan: “aku seorang laki-laki”. Aku adalah jiwa yang hidup sedangkan orang laki-laki adalah bentuk yang fana. Oleh karena itu keduanya tidaklah sama, namun di identikkan juga. Ucapan-ucapan seperti yang terdapat pada kedua contoh ini memang tidak dapat di kenakan kepada orang dan pakaian atau orang dan tongkat sebagainya. Tidak dapat dikatakan “orang itu adalah pakaian dan sebagainya. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa “orang itu memiliki pakaian” atau orang itu memiliki tongkat.
Dengan demikian jelaslah bahwa:
a)    Hubungaan antara “Mawar” dan “Merah” serta “Aku” dan “Seorang laki-laki” berbeda dengan hubungan antara “orang dengan pakaian atau tongkat”. Pada contoh yangpertama hubungan kedua unsur itu lebih erat antara mawar dan merah dibandingkan dengan orang dan pakaian atau orang dengan tongkat.
b)   Bahwa hubungan yang terdapat pada orang dan pakaian atau tongkat itu hanya mewujudkan suatu penggabungan belaka.
Hubungan yang terdapat antara “Mawar dan Merah” antara “aku dan orang laki-laki” adalah merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan, kalau pada “Mawar dan merah” merupakan hubungan subtansi dan sifat, sedangkan hubungan antara ”aku dengan orang laki-laki” adalah hubungan subtansi rohani dan subtansi badaniah (jiwa dan tubuh = aku dan laki-laki). Hal ini menyatakan bahwa kata yang pertama dinyatakan oleh kata yang kedua (mawar diterangkan oleh merah, jiwa diterangkan oleh laki-laki). Keduanya tidak bisa dipisahkan hubunganya (parthak siddhi). Dengan demikian pula halnya hubungan antara Brahman dengan jiwa dan Brahman dengan dunia, hubungan antara dua subtansi yakni yang satu rohani dan yang satu lagi badani. Baik jiwa maupun dunia tidak dapat digambarkan lepas dari pada Brahman. Hubungan antara Brahman dan jiwa sama dengan hubungan antara jiwa dengan badan manusia. Demikian juga ubungan antara Brahman dan dunia. Brahman adalah jiwanya dunia, yang sekaligus menjiwao jiwa manusia. Ketiganya dapat di gambarkan sebagai dua lingkaran yang berpusat satu. Pusatnya adalah Brahman, sedangkan jiwa adalah lingkaran yang kecil, dan dunia adalah lingkaran yang kecil, dan dunia adalah lingkaran yang besar, yang berada diluar. Jikalau demikian, maka dapat dikatakan ketiga-tiganya, Brahman jiwa dan dunia adalah sama-sama nyata (riil) namun tidak sama, tidak identik, tidak ada pada dataran yang sama, seperti halnya dengan jiwa dan badan manusia adalah sama-sama nyata (riil) namun tidak identik.
Kesimpulanya adalah bahwa Brahman, jiwa dan manusia memang berbeda, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan, sekalian tiga-tiganya adalah kekal. Tekanan diletakkan pada: berbeda tetapi berhubungan yang erat sekali.
Ajaran Adwaita menekankan bahwa tidak dualisme, sebab Brahman adalah satu. Di dalam Wasistadwaita di tekankan bahwa yang satu itu diterangkan atau di tentukan oleh sifat-sifatnya, Brahman yang tunggal itu menjelma dalam jiwa dan manusia serta menjiwai kedua-duanya. Pendirian yang demikian itu diterapkan kepada segala ucapan, umpamanya disebutkan; “bunga teratai biru” ini adalah merupakan satu kesatuan, yabg terdiri dari;
a)    Subtansi benda yaitu bunga.
b)   Penguraiannya dengan kedua kualitas yang berbeda keadaannya dengan subtansi tadi, yaitu kualitas, “kebiruan” dan “keterataian”, semua ini sangat bergantungan, unsur yang kedua bergantung kepada unsur yang pertama secara tak terpisahkan. Ketiga unsur itu berada secara simultan atau pada waktu bersamaan.
Suatu contoh yang lain, jika melihat seorang jejaka, disebut “itu orang”. Orang tersebut dua puluh tahun yang lalu adalah bayi. Jadi jejaka dahulu bayi sekarang sudah jejaka, tetapi orangnya sama. Hal ini menunjukkan jiwa yang semula menjelma pada bayi itu sekarang menjelma pada jejaka. Jiwanya adalah satu. Disini ketiga unsur; jiwa, bayi dan jejaka, saling bergantungan, dan bahkan berada pada waktu yang bersamaan, melainkan waktu yang berurutan.
Kesimpulanya ialah baik yang dijelmakan maupun yang dikwalifisir adalah sama, sedangkan unsur yang menjelmakan atau yang mengkwalisir berbeda, sekalipun tidak dapat dipisahkan. Dasar pemikir Ramanuja banyak yang memberi pujian dalam hal pemecahan masalah Wasistadwaita ini, sebab secara formal memang memecahkan kesukaran-kesukaran yang di timbulkan upanisad, yaitu bahwa disatu pihak Brahman dibedakan dengan jiwa  dan dunia tetapi di lain pihak disamakan juga.
Ramanuja berpendapat; “Memang benar Brahman berbeda dengan jiwa dan berbeda dengan dunia” tetapi dia juga mengatakan “Memang benar Brahman sama dengan jiwa dan sama dengan dunia ketigannya tidak dapat dipisahkan. sekalipun demikian perlu dipersoalkan apakah pemisahan ini sehat? sekalipun ada unsure-unsur kebenaran dalam pandangan Ramanuja ini akan tetapi sukar untuk di anggap sebagai sosok dengan keseluruhan ajaran Upanisad. Unsur-unsur kebenarannya adalah:
a)    Tuhan atau Brahman berbeda dengan jiwa dan berbeda dengan dunia.
b)   Tuhan adalah pengawas dan tidak ada akhir-akhirnya yang berbeda dalam jiwa dan didalam dunia ini.

Mengenai kategori-kategori diajarkan, bahwa ada dua kategori yaitu: subtansi dan yang bukan subtansi yaitu kualitas atau sifat.
Yang dimaksud dengan subtansi adalah apa yang mengalami perubahan. Sekalipun Ramanuja mengajarkan adannya enam subtansi namun yang akan di bicarakan disini hanya tiga saja yang menjadi pembicaraan yang penting.

2.    Dwaita
   Aliran ini menganggap dirinya sama tuanya dengan Upanisad, tidak ada yang dapat menentukan apakah anggapan itu benar? yang jelas ialah orang yang terkenal atau sebagai tokoh yang terkenal atau sebagai tokoh aliran ini adalah  madhwa (1199-1278), jika kita perhatikan dari masa kehidupan para tokoh aliran wedanta ini, madhwa yang paling muda.
Dwaita mula-mula berpengaruh dibagian barat india, akan tetapi kemudian pengaruhnya menjalar kebagian yang lebih luas. Madhwa sangat berpengaruh pada saat itu sehingga dikenal sebagi Purnaprajna artinya: orang yang telah mendapat fikiran yang sempurna. Madhwa juga di panggil oleh orang tuanya dengan nama Wasudewa. Hasil karyannya yang gterkenal ialah komentar atas kitab-kitab Upanisad. Atas kitab Bhagawadgita dan Wedanta – sutra serta beberapa tulisan lainya.
Sistim ? Wedanta seperti yang dianjurkan oleh Madhwa disebut Dwaita (dualis) sebab menurut Madhwa pokok-pokok ajaran filsafatnya adalah perbedaan (bheda). Sistim ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia ini nyata bukan maya. Akhirnya sistim ini juga bersifat theitis, karena menerima adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-satunya kenyataan yang berdiri sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhwa mengakui/percaya. Dengan adanya manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam.
Dasar ajaran Madhwa adalah mengakui adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semua mampu mempunyai cirri dan sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Pada prinsipnya perbedaan itu adalah segala sesuatu yang mempunyai wujud tersendiri. Umpama; sapi sendirinya berbeda dengan kambing. Menyebut sapi dengan sendirinya menunjuk perbedaannya dengan kambing dan sebaliknya, menyebut kambing dengan sendirinya menunjuk kepada perbedaan kambing dengan sapi. Oleh karena itu sebenarnya orang tidak mampu mengetahui du hal sekaligus, guna untuk mengetahui  perbedaan kedua itu demikian pula halnya dengan filsafat tidak mampu membedakan sekaligus, tanpa mengenal satu persatu terlebih dahulu.
Menurut Madhwa di dunia ini ada lima macam perbedaan yaitu:
1)   Perbedaan antara Tuhan dengan Jiwa,
2)   Perbedaan antara Jiwa dengan Jiwa yang lainya,
3)   Perbedaan antara Tuhan dengan benda
4)   Perbedaan antara Jiwa dengan benda,
5)   Perbedaan antara benda yang satu dengan benda yang lainya.

Semua itu berbeda berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu tidak berarti bahwa semua itu tidak saling bergantungan umpamannya; tubuh bergantung dari pada jiwa, sekalipun keduannya sangat berbeda sekali. Hanya ada satu hal yang tidak bergantung pada hal yang lain yaitu adalah Tuhan, tetapi sebaliknya yang lainya bergantung pada Tuhan.
Tuhan, jiwa dan benda ketigannya sama-sama kekal adannya, sekalipun demikian hanya Tuhan yang merdeka dan bebas, yang bergantung pada siapapun dan apapun. Tuhan adalah kenyataan yang tertinggi dan memiliki sifat-sifat yang kaya sekali. Walaupun tuhan dapat di mengerti, akan tetapi Tuhan tidaak dapat dikenal oleh umat secara menyeluruh dan secara sempurna. Tuhan yang berhakekat-kan pengetahuan dan kegirangan itu adalah suatu pribadi, yang memiliki suatu kepribadian yang mutlak.
Menurut Madhwa bahwa didunia ini ada banyak jiwa yang tidak terhingga jumlahnya. Tiap jiwa berbeda dengan jiwa yang lain. Itulah sebabnya tiap orang memiliki pengalaman sendiri-sendiri, memiliki cacat sendiri, memiliki sengsara sendiri, dan seterusnya. Jiwa-jiwa itu berbentuk atom akan tetapi karena dipengaruhi oleh ikatan duniawi (nafsu) maka jiwa ini ikut menderita atau bahagia, padahal sebenarnya jiwa itu kekal dan abadi penuh kebahagiaan. Oleh karena di bungkus oleh karma  wesana maka jiwa-jiwa itu ikut menderita, sengsara  dan pada saatnya akan kembali numitis ke dunia ini.
Secara umum dijelaskan bahwa jiwa yang ada didunia ini mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu:
a)    Jiwa-jiwa yang bebas secara kekal (nitya), seperti umpamannya Laksmi, istri atau sakti Wisnu,
b)   Jiwa-jiwa yang telah mencapai  kelepasan dari sengsara (mukta) yaitu para Dewata, para Rsi dan nenek moyang yang telah mendapat kelepasan,
c)    Jiwa-jiwa yang terbelenggu (baddha), oleh segala papa dan dosa, jiwa terbelenggu ini ada dua kelompok yaitu:
1)        Jiwa-jiwa yang masih dibebaskan (mukti yogya),
2)        Jiwa-jiwa yang tidak dapat dilepaskan lagi, ini terdiri dari dua jenis juga yaitu:
·      Jiwa yang untuk selamanya terikat akan hukum samsara.
·      Jiwa-jiwa yang terus diikat oleh hukum samsara yang lebih rendah yakni jiwa yang dilahirkan menjadi jenis yang lebih rendah, hal ini tergantung pada jenis papa dan dosa yang dideritanya.

Ajaran Dwaita tentang proses terjadinya pengetahuan pada umumnya sama dengan ajaran Nyaya dan Waisesika, akan tetapi ajaranya tentang pengetahuan itu sendiri ada bedannya. Menurut Dwaita pengetahuan adalah suatu bentuk dari alat-alat (manas), sehinnga pengetahuan itu bersifat pada manas, bukan pada pribadi manusia. Namun dalam proses pengetahuan itu sendiri manusialah yang menjadi pelakunnya, sebab pribadi manusialah yang memprakarsai proses itu, sehingga ada hubungan antara pribadi manusia dan pengetahuan yang timbul.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan yang ada di luar manusia. Pengetahuan yang salah juga memiliki obyeknya. Adapun obyeknya ialah “apa yang tidak ada” (asat). Hal ini diterangkan demikian; orang memiliki seutas tali sebagai seekor ular (kenyataannya tidak benar). Aliran Nyaya – Waisesika mengajarkan, bahwa ular itu ada, sekalipun bukan di tempat itu, melainkan di tempat lain. Dwaita berpendapat, bahwa ular itu tidak ada, baik di tempat itu, maupun di tempat lain. Kesalahan pengetahuan itu adalah bahwa apa yang tidak ada di sangka ada. Obyek pengetahuan yang salah memang tidak ada secara kenyataan, hanya bayangan saja yang menyebutkan ada seperti melihat ular, padahal tidak ada ular yang ada hanya tali saja,. Orang-orang pada umumnya bingung, menyangka yang sesungguhnya tidak ada dikatakan ada; hal ini di sebabkan oleh kegelapan pikiran manusia yang disebut dengan Awidya.

1 komentar: